Nathan, sejenis ekstasi.

Mereka bilang, Nathanku adalah lelaki fantasi yang menemani hari-hariku. Kuakui iya, dia memang lelaki fantasi yang telah berwujud nyata sejak aku mengenalnya 1 tahun yang lalu. Kurasa ini dejavu, seolah aku telah mengenalnya dalam waktu yang cukup lama sehingga saat pertama kali kami bicara, tidak ada rasa canggung di sana. 
Nathanku adalah wujud doa dari seluruh doa yang pernah kueja. Penyemangatku kala malas dan jenuh mulai datang, senyumnya adalah obat penenang dari segala kekecewaan. Yah, Nathan datang di waktu yang sangat tepat, saat hati itu terluka, nyaris patah dan hancur.. Nathan datang dengan senyum nakalnya yang melenakan. Aku bahkan ingat betul kapan pertama kali aku mengenalnya: dalam sebuah mimpi paling manis yang Tuhan hadiahkan untukku di waktu Ramadlan. 
Sempat aku bertanya pada Tuhan, Diakah Nathan yang akan menemaniku mewujudkan segala mimpi? Diakah Nathan yang akan menghapus segala perih di hati? Diakah pula yang akan menegakkan punggung ini kala aku mulai menunduk dalam batas kekecewaan? 
Ada banyak tanya tentang Nathan yang seringkali tertulis jelas dalam benakku, bahkan dia pula yang sering kumimpikan di tengah lelapku... Lalu dengan segenap keyakinan, karena sebuah kegelisahan yang tak kunjung menemukan jawaban aku seringkali melafalkan namanya tanpa sadar, hingga aku seolah menjadi makhluk Tuhan yang paling ngeyel soal mendoa. Ah, kenapa aku seringkali menyandingkan namamu dengan do'a Nathan? padahal, meski ketidak mungkinan itu tak kan pernah terwujud aku sendiri tak kan merasa patah hati berkali-kali. Bukankah ini sudah biasa? aku menyukai seseorang diam-diam tanpa mengumbarnya. Kau tahu kenapa Nathan? karena sejak aku mengenalmu, di situlah aku memberanikan diri menjatuhkan hati untuk kedua kalinya, tapi aku takut kau hanyalah seseorang yang hanya akan kekal dalam tulisanku bukan untuk kumiliki. Aku pernah mengatakan padamu bahwa aku menyukaimu. Tapi kalimat itu hanya kubisikkan di tengah jalan saat aku tidak menyadari ada kamu di situ. Tampang malu membuat mukaku kemerahan, lalu kau tertawa lebar seolah omonganku barusan adalah guyonan yang paling lucu untuk kau tertawakan. Akupun ikut tertawa denganmu, melepas senja di sepanjang jalan hanya untuk menghabiskan waktu. Tidak apa-apa, yang penting aku bersamamu Nathan. 
Teka-teki dari kegundahanku pun terjawab, meski semuanya tak sesuai harapan. Aku hanya perlu sebuah kepasrahan hati yang paling maksimal untuk tidak kembali mengutuki diri sendiri. Bahkan, ada banyak pelajaran hidup yang aku temui sepanjang kau mewarnai hari-hariku Nathan, termasuk kau menjadi inspirasi terbaik untuk menuliskan tulisan paling ga jelas yang sedang kau baca ini. 
Nathan, kau pernah bilang bahwa kau tak suka melihat perempuan menangis, hingga suatu pagi kau temukan aku dalam keadaan jilbabku telah basah kuyup oleh air mataku sendiri. Aku menyadari satu hal, dari matamu itu ada titik kekhawatiran padaku. Tapi kau lebih memilih untuk menemaniku saja tanpa sepatah katapun yang kau ucap padaku. Aku kesel waktu itu Nathan, karena aku berharap kau menghiburku, dan mentertawakanku seperti biasa... Mungkin saat itu mataku berkata jujur bahwa yang kutangisi adalah perihal tentangmu yang tak ingin kuceritakan. 
Nathan, lelahkah kau membaca sederet kata yang tak penting di sini? sama, aku juga lelah Nathan menuliskan sesuatu yang tak hendak kutuliskan. Namun apa daya, aku hanya berusaha menghibur diri sendiri dengan menulis tulisan yang semacam diary ini di depanmu...dan kau tidak perlu menyadari bahwa kau sedang kujadikan objek dari tulisan ini. Aku menghambur dalam seluruh kegelisahan, menemukan satu titik pengharapan yang pasti bahwa tiada doa yang tak terjawab sebagaimana janjiNya padaku. Mungkin Dia ingin melihatku semakin mantap dalam mendoa, memperbaiki diri, dan mendewasakan diri. Hingga badai apapun yang akan menerpa, aku tak lagi bergantung pada seorang Nathan untuk mengembalikanku berdiri tegap melangkah ke depan menyusuri masa depan.
 
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar