Wisata Hati (part 1)

#POV: Chaca
"Aku harus segera menuliskannya di sini, sebelum angin jahat dari milea yang usil mulai merenggut inspirasiku..." ucap gadis itu pada sahabatnya.. Milea. Sahabat kecil yang sering main kerumahku itu suka sekali mengganggu aktivitas menulisku. Yah, akulah gadis penikmat sepi yang hobby blogging. Milea Adnan Husain, kamu mengenalnya? tentu saja dia bukan tokoh perempuan dalam novel serialnya Pidi Baiq yang sedang laris manis itu, tapi dia adalah sahabat terbaikku.
 Perkenalkan, namaku Vahma salsabila al-Gazel. Tetangga sebelah rumah, memanggilku Chaca.. Aku gadis jawa kelahiran Sumatra. Seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jawa Barat, gadis yang suka ngemut lolypop dan terlalu easy going dengan kehidupan manusia sekitarnya. Sudah cukup aku memperkenalkan diri padamu, mari kutulis saja beberapa tulisan yang sempat terpaut di balik batok kepalaku. Teringat beberapa pesan ayah waktu lalu, aku mulai merasa bingung tak karuan, mulai suka menangis tersedu-sedu tanpa lagi peduli apakah di sekitarku ada orang lain atau tidak. "Bagi seorang ayah, memiliki anak perempuan itu adalah amanah yang sangat besar nduk, karena anak perempuan harus benar-benar dijaga secara ketat melebihi anak lelaki agar dia tidak "terlepas" kendali. Beberapa waktu lalu, ayah mendengar kabar burung tentang putri sahabat ayah dulu waktu di pesantren. Putrinya yang kedua baru menikah beberapa bulan yang lalu, namun kemarin sore dia sudah melahirkan anak pertamanya".... ayahku menghela nafas begitu berat melanjutkan pembicaraannya. "kau tahu apa maksudku nduk? ayah takut, ayah tidak bisa menjagamu dengan baik. Jangan sampai ayah gagal mendidikmu, membimbingmu, menjagamu hingga suatu hari ada lelaki hebat yang akan menggantikan posisi ayahmu yang tidak lagi muda. Maka ayah menjodohkanmu dengan dia, Zafran saudara sepermainanmu".. Sampai di situ saja gerimis di hati mulai menderas, membanjir, meluluh lantakkan seluruh perasaan yang selama ini aku takuti. Sebuah perjodohan.

"Selamat Cha, semoga kelulusanmu di hari ini membawa keberkahan hidup, kebermanfaatan ilmu, dan tetaplah menjadi Chaca yang periang dimanapun kau berada" kata Milea di hari kelulusanku.. Yah, hari ini aku resmi menyandang gelar Sarjana Farmasi. Ucapan-ucapan selamat dari sahabat, teman karib, dan saudara memaksaku tersenyum lebar penuh bahagia. Tapi di sana, di lapisan hati yang paling dasar aku menangis kencang di atas podium sayap kanan. Air mata haru dan pilu menghambur jadi satu, berikatan saling menguat seperti ikatan hidrogen. Pecah, tumpah ruah di dada Milea. Aku tahu, di antara sekian banyak orang yang menyaksikan air mata itu hanya seorang Milea yang paham betul tentang kondisi hati yang saat itu kacau. Kau pasti heran, ada seorang gadis yang menangis pilu tanpa sebab di hari bahagianya. Itulah aku, Vahma Salsabila pemberontak paling pengecut yang pernah ada di muka bumi.

#POV: Milea
Tanpa sengaja aku menemukan sesosok gadis berjilbab biru muda tengah terisak di balik meja. Pelan-pelan aku mendekatinya tanpa sedikitpun suara yang bisa menyadari kedatanganku yang tiba-tiba. Kupeluk dia dari belakang, tapi tangisnya semakin kencang, beradu dengan deru hujan yang sedari tadi tak mau berhenti. Menjebakku dalam kamar 4 x 4 ini dalam kondisi lapar... Maklum, si koki yang paling baik hati selalu memasakkanku sedang meringkuk lemas dalam tangisannya di balik meja. "Lia, aku harus bagaimana untuk jujur pada ayah bahwa aku tidak sepakat atas perjodohan ini? Sudah terlalu lama aku memendam sendiri Lia untuk meredam berbagai emosi yang terkadang tak terkendali ini. Aku sudah tidak kuat lagi untuk diam membisu seolah aku hanyalah gadis yang selalu menuruti apapun yang mereka mau. Lia, menikah itu tidak sama seperti kita bermain tebak-tebakan, tapi ini lebih serius dari soal manakah yang lebih dulu lahir antara ayam dan telur... Tidak sesederhana itu Lia." Chaca langsung menghambur dalam pelukanku, berbicara panjang lebar tentang kegelisahan hatinya yang sejak 3 tahun ia simpan sendiri. Aku mengenalnya tanpa sengaja, di sebuah kursi bundar di tengah taman kampus. Gadis periang dan heboh. Tapi dia akan menjelma jadi dewi es, dingin sekali jika berada di sebuah perkumpulan orang-orang yang tak sepemikiran dengannya. Gadis itu pula saudaraku satu-satunya setelah ayah dan bunda meninggalkanku dalam kecelakaan maut 4 tahun yang lalu, tepat di saat minggu pertama aku mulai berganti status menjadi mahasiswa. Dia tak seanggun wanita pada umumnya, lebih mirip sesosok lelaki yang anggun ketika jilbab lebarnya mulai tergerai di hadapanku.     
Gadis itu tidak cukup tangguh berada di hadapanku, menangis meraung-raung seperti anak kecil tanpa ampun menghujani bahuku dengan air matanya. Kadang aku berpikir, gadis itu beruntung memiliki keluarga yang utuh dengan pengawasan yang cukup, namun begitulah seorang Chaca layaknya remaja lainnya diapun tak melulu suka diatur-atur, apalagi urusan semisal perjodohan. Chaca bukan gadis liar yang suka bikin ulah tanpa pikir panjang, tapi dia cukup dewasa untuk berani hidup jauh dari keluarganya, mandiri, penuh tanggung jawab terhadap segala pilihannya. Tapi, pada beberapa hal segala kehendak keluarganya sudah seperti titah Tuhan terhadap hambaNya, mau tidak mau, suka tidak suka, Chaca tidak bisa seenaknya menolak beberapa hal yang sudah menjadi kesepakatan keluarganya termasuk urusan memilih pasangan. 

#POV: Chaca
"Chaca" jawabku sambil kulipatkan tangan saat seseorang mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Nathan, mm maaf aku lancang mengulurkan tanganku" ia tersenyum lepas saat memperkenalkan dirinya. Seorang Nathan yang kukenal pada saat acara pekan ilmiah mahasiswa nasional di Bogor beberapa waktu yang lalu. Ia sama-sama sebagai delegasi dari kampusnya untuk mempresentasikan hasil karya ilmiah yang dia ikuti. Sosoknya yang ramah, cukup imut, dan hey dia punya senyum yang cukup memikat siapapun yang menikmatinya, termasuk aku yang diam-diam suka memperhatikan dia dari kejauhan setelah pertemuan pertamaku dengannya. Nathan cukup asyik orangnya, jika dilihat dari cara ia berbicara kurasa dia seorang penikmat buku. Bicaranya luwes dan tipe pria yang kompatibel dengan semua orang. Penutupan acara telah selesai, tanpa disangka Nathan menghampiriku pada saat kami akan menaiki mobil jemputan menuju stasiun. Bertukar kontak dan selebihnya kami menjadi dekat melebihi seorang sahabat. 
Katakanlah cinta tak peduli waktu dan jarak memisahkan, beberapa kali kami merencanakan sebuah pertemuan namun selalu gagal. Adakah sebuah pengkhianatan? tentu saja tidak, karena bagiku apalah arti sebuah pertemuan jika hati tetap saja berjauhan... Aku sendiri tak pernah mengatakan jatuh hati padanya, namun dedoa yang kubisikkan pada bumi setiap saat adalah sapaan terbaik untuk seseorang yang berhasil menetap dalam hati. Sebuah keyakinan yang mantap dalam hati hanyalah tentang bagaimana aku menjaga diriku tetap di sini menjalani kehidupan seperti biasa tanpa harus berubah menjadi seperti remaja lain yang menggebu-gebu dalam persoalan cinta. Tidak perlu berlebihan dalam mencintai seseorang, cukup hembusan doa pada namanya lalu kutitipkan saja pada Tuhan. Jika dia jodohku, maka bagaimanapun rintangan menghalangi kami akan bertemu suatu hari nanti, tapi jika dia memang hanya ditakdirkan sebagai orang yang pernah mewarnai hari-hariku sebatas mood booster, akupun tak masalah tentang kehilangan. Inilah caraku mencintai seseorang, cukup mendoakannya tiap pagi, lalu akan kembali bersemangat seolah dia menemaniku dimana saja. Jika orang lain selalu melihatku tersenyum manis pada siapapun yang kutemui, barangkali suntikan semangat Nathan telah menjelma menjadi siapapun yang ada di hadapanku. Begitulah kira-kira orang yang tertembak asmara.

Cerita bersambung.... kapan-kapan kulanjutkan lagi ^_^

#Eva Edelweis, Yogyakarta 18 Januari 2017

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar