#Tantangan 10 Hari Menulis Bersama Kampus Fiksi
Assalamualaikum para pengunjung rumah laba-laba... mohon maaf tulisan ini telat posting karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Kali ini aku mencoba mengingat kembali kira-kira apa yang pernah diremehkan orang lain namun bagiku merupakan suatu kebanggaan tersendiri, sesuai tema yang diminta oleh kampus fiksi yukk luangkan waktu sebentar saja...
Eva, begitulah ibuku memanggil namaku. 21 Tahun yang lalu, aku dilahirkan ke dunia oleh seorang ibu yang luar biasa. Dibesarkan di lingkungan yang boleh dibilang mayoritas masyarakatnya lulusan MI-Mts. Namun, kabar bahagia untuk seorang eva adalah eva terlahir dalam keluarga yang mengutamakan pendidikan, baik itu pendidikan di pesantren atau di sekolah umum. Tulisan ini kumuat di blog pribadi bukan semata-mata niat menyombongkan diri apalagi merendahkan orang lain. Tidak sama sekali. Namun, hanya sebatas kenangan terindah sepanjang hidup.
Masa kecilku begitu menyenangkan, aku benar-benar menikmati masa-masa kenakalan yang luar biasa. Yah, jangan dikira aku itu anak penurut, cantik, anggun atau semacamnya. Eva kecil yang nakal, menyebalkan itu kawannya bukan anak perempuan, tapi laki-laki. Mainannya bukan boneka, tapi bedil. Makanya ikutan nakal. hahahha. Orang-orang tak menyukaiku karena aku yang nakal pada teman-teman perempuanku. Namun, eva yang nakal ternyata telah memasuki usia remaja. Tibalah aku di pesantren, mungkin biar aku segera tobat dari kenakalanku. Tanpa terasa, masa-masa tersulit di pesantren telah kulalui, saatnya aku melanjutkan studi. Aku menyukai kimia sejak kelas pertama SMA, kuniatkan bulat-bulat untuk suatu saat aku belajar kimia lebih dalam lagi. Bagaimana reaksi keluargaku? woooaah sempat putus asa karena mereka tak mengijinkanku keluar dari pesantren. Namun, inilah takdir Allah yang lebih kuasa dari apapun, hari ini tulisan ini ditulis oleh mantan anak nakal lulusan kimia. hahahha.
Inti ceritanya begini, aku mampu menaklukkan hati orang tua untuk meyakini betul bahwa aku bulat dalam keputusanku untuk menekuni kimia. Ketika aku pulang kampung tahun pertama, orang-orang mulai menunjukkan rasa ketidak sukaannya padaku yang katanya nyeleneh kuliah bidang itu. Mereka mulai mempertanyakan apa yang kupelajari, apa manfaatnya buat masyarakat, akan kemanakah aku ketika lulus, meremehkan aku yang nakal tidak bisa apa-apa hanya membuang-buang duit orang tua saja, sampai ada kata-kata yang begitu menyebalkan, yang tak pantas aku tulis di sini. Namun, tetesan air mata itu terhapus oleh semangat ayahku yang tak henti ia suntikkan. Ayahku selalu berpesan bahwa aku belajar ke tanah rantau bukan untuk menjadi apa-apa, bukan untuk menjadi siapa-siapa, namun untuk belajar dengan baik dan tekun. Untuk suatu saat, segala pelajaran yang pernah aku dapat entah itu di bangku kuliah atau dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi manfaat untuk diriku sendiri dan orang lain, kelak ketika aku terjun dalam masyarakat. Cukuplah aku menjadi anak gadis ayah yang baik, yang tak lupa pada jati dirinya seorang santri, dimanapun ia berada. Jangan sampai mengecewakan dan mencoreng nama baik keluarga dengan hal-hal yang diluar batas perilaku seorang santri. Ayahkupun tak menuntut aku menjadi seorang pelajar yang harus memiliki nilai IPK yang melangit, namun ayahku kesal jika aku malas-malasan belajar. Pesan ayah selalu kuingat baik-baik, bahwa aku tak perlu peduli dengan omongan orang lain cukup rajin "belajar" saja.
Memasuki tahun kedua, barulah harapan itu terjawab. Anak gadis ayah membawa kabar gembira, karena baru saja ia dinyatakan sebagai penerima beasiswa Dikti dan Pesantren. Kejutan ini sebagai jawaban untuk mereka yang meragukanku, meremehkan seorang santri yang nyeleneh belajar "mau merakit bom" katanya, mengabaikan aku yang hanya punya modal "Tekad bulat" tanpa punya modal yang lain. Tahun kedua, entah hadiah semacam apalagi yang Allah tunjukkan pada ayah, bahwa anaknya yang dulu nakal telah benar-benar tobat dari kenakalannya. Ayah mulai percaya padaku bahwa aku bisa bertanggung jawab atas pilihanku, karena ternyata kimia tak serumit jalan cintamu mas broh... hahahhaha. Meskipun rumit, aku melunasi janjiku pada ayah untuk belajar dengan baik. Pulang kampung, aku tak lagi malu untuk bertemu dengan orang-orang yang dulu mengenyekku, aku tak lagi kaku berbicara dengan mereka yang pernah mengataiku ngabis-ngabisin duit orang tua, padahal mending belajar agama daripada kimia. Ah, apa yang kualami tak sesederhana tulisan ini. Pernah stres kalau pulang kampung, karena takut jadi bahan omongan orang. Namun, belajar dari sebuah pengalaman yang cukup menegangkan untuk anak pertama sepertiku, aku sudah mencoba membuktikan pada ayah bahwa ayah tak perlu khawatir melepas anak gadisnya ke tanah rantau, takut melakukan hal-hal yang bisa saja mengecewakan dan memalukan keluarga. Aku mencoba membuktikan pada ayah, bahwa aku bukan lagi anak gadisnya yang nakal dan menyebalkan tapi, aku sudah tumbuh menjadi remaja yang siap bertanggung jawab atas segala keputusan hidup yang aku pilih di masa depan.
Sekali lagi kutuliskan bahwa aku tak berniat menyombongkan diri, tapi hanya sebatas jejak hidup bahwa aku pernah berhasil memperjuangkan sesuatu meski cukup sederhana. Aku termasuk dari gadis yang beruntung, diberi kesempatan belajar sesuai minat hingga di bangku kuliah dibandingkan dengan gadis-gadis lain didesaku. Tidak hanya itu saja, aku berterimakasih untuk UII dan Dikti telah menggratisin aku kuliah, hihihi... semoga aku bisa lanjut kuliah dengan gratis lagi yah.. :). Aku masih ingat bagimana dulu saat interview tentang motivasiku belajar kimia jauh-jauh dari pulau garam. Karena jawabanku masih sama, aku ingin desaku yang pernah tertinggal, terlahir dari sana generasi-generasi cerdas untuk menjadikan pulau garam minimal hampir menyerupai jogja, sebagai kota pendidikan. Tidak akan ada lagi dikotomi antar ilmu, tidak akan ada lagi perempuan yang diremehkan karena nekat "nyeleneh", tidak akan ada lagi ceritanya pendidikan tinggi hanyalah milik mereka berjenis lelaki. Semua bidang ilmu pengetahuan memiliki muara yang berbeda dan punya jatah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya tanpa pandang ilmu agama atau bukan.
Eva Edelweis, Yogyakarta 25 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar