Hari Keempat: Tentang Dia, Penakluk Hati

#Tantangan 10 Hari Menulis Bersama Kampus Fiksi

   woooooo rasanya aku mau teriak kenceng, bisa bertahan sampai hari keempat. Biasanya aku cuma ngeblog pas lagi ada moment-moment tertentu, semacam mengingat gebetan misalnya. upss hahahhaha. Gebetan dalam khayalan brohh... Oke, hari keempat temanya tentang sebuah cerita bagaimana pertemuan pertamaku dengan "dia". hmmm, jujur saja aku mikir berkali-kali siapa yah yang kira-kira akan kuceritakan di sini tentang "dia"? daripada kelamaan ngoceh sendiri, yuk aku tuliskan saja.... keburu kamunya bosan. hahahhaa

    Aku hidup dan belajar di sebuah pesantren, karena ayah yang meginginkanku di sana. Namun, setelah dipikir-pikir, pilihan ayah untuk memutuskanku melanjutkan studi di pesantren itu sangat tepat. Karena ternyata, bermula dari sebuah pesantren aku mulai mengubah sedikit demi sedikit hidupku di masa lalu. Dulu, aku benar-benar tidak menyukai keramaian, tidak nyaman bergaul dengan banyak orang, tidak mudah akrab dengan orang baru dan tidak punya teman lawan jenis (untuk yang ini agak sedikit cupu...). Namun di sana, di sebuah pesantren aku mencoba mengubahnya menjadi lebih baik. Memiliki beberapa sahabat, bergaul dengan banyak orang, dan aktif di beberapa kegiatan ekskul semacam pramuka.

     Pramuka, adalah ekskul favorit selama aku berstatus jadi santri. Kenapa? karena dari pramuka akan ada banyak kegiatan di luar lingkungan pesantren.... hahahha maklum lah, keluar gerbang pondok saja udah bikin girang kayak ngerasa bebas... apalagi harus mengikuti acara di luar lingkungan pesantren. Sungguh menyenangkan sekali bukan, untuk anak jahil semacam aku? tolong, pikiran semacam ini jangan ditiru. Pada saat tahun pertama aku masih menjadi anggota baru pramuka, diadakan acara perkajum keliling beberapa kompleks di pesantrenku. Hingga tanpa sengaja saat aku melewati jalan kecil di tengah-tengah persawahan belakang pondok, aku bertemu dengan salah seorang santriwan yang tahu-tahu nongol di depanku. Entah angin mana yang mencoel pikiranku untuk tertarik memandangnya walau sepersekian menit. Santri berbaju gamis coklat muda dengan kopyah imut warna putih bertengger di kepalanya. Sempat kulirik sebentar, dia si pemilik hidung mancung, berambut agak keriting dan rasa-rasanya si dia macam anak blasteran Indonesia-Arab. Beberapa menit saja aku terpikat pada pandangan pertama dengan seorang santri yang entah darimana dan siapa namanya, tapi satu hal yang ku tahu rasa-rasanya dia menyadari ada seorang hawa menatapnya dari kejauhan di balik jilbab coklat yang ia kenakan. PeDe amat sih Va.. hahahah. Setelah itu kulanjutkan perjalanan karena ternyata ada yang menegurku untuk menundukkan pandangan... maklum, ini pertama kalinya aku pernah punya rasa penasaran untuk melirik lawan jenis "sebagai lelaki" bukan melulu cuek ada orang di depanku. Selepas dari acara itu, aku menyadari satu hal ternyata aku "normal" pernah menyukai seseorang untuk pertama kalinya... ahahahha... Pertama kali pula aku merasa ada seseorang yang pernah tanpa sadar menaklukkan hati yang dingin. Berawal dari rasa penasaran dengan dia yang kuyakini sebagai salah satu santri putra di pesantrenku, akupun mulai mengenal banyak teman santri (putra) dan beberapa dari mereka menjadi sahabatku. Tapi, sampai tulisan ini kutulis hingga selesaipun si dia belum pernah kutemukan lagi sosoknya. Tidak masalah aku tak menemukannya, tapi yang pasti hari ini aku bukan lagi gadis kaku yang gelagapan berbicara dengan lawan jenis, bukan lagi gadis cuek, sombong dengan orang yang berniat akan berteman denganku. Semuanya bisa berteman, bersahabat denganku, tidak lagi pandang dia lelaki atau perempuan. Eva yang dulu dibilang autis, kini punya banyak teman di manapun ia berada. Terimakasih untuk dia yang pernah tanpa sadar menaklukkan hati yang dingin, diri yang kaku, dan mengubahku sedemikian rupa hingga seperti hari ini.

Cerita ini agak kaku yah, karena sudah lama cerita tentang dia ingin kutuliskan di sini meski dengan kalimat-kalimat paling sederhana. Tapi yah sudahlah, cerita sederhana ini hanya akan menjadi kenangan tersendiri bagiku suatu hari nanti. 

Eva Edelweis, Yogyakarta 21 Januari 2017

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar