Nathan,
baru saja aku akan menyelesaikan separuh ceritaku yang telah
melayang-layang di atas langit-langit kamarku. Tentang kamu, seseorang
yang memberikan sebuah pengharapan di atas kesedihan yang mendalam.
Nathan,
aku ragu-ragu melanjutkannya. Karena perasaan takut kamu akan merasa
bersalah jika kau membacanya. Tapi, kalau kau ada waktu, kunjungi rumah
laba-labaku ini untuk sekedar membaca kabarku saat itu. Jangan bosan
Nathan, seperti halnya aku yang tak pernah bosan mendo'a dengan sepenuh
keyakinan bahwa aku memaksa Tuhan untuk memberikanmu padaku. Aku ingin
memilikimu.
Nathan,
entah apa yang harus kutulis disini agar kamu mengerti separuh hati
yang jatuh hati dan separuh yang lainnya patah hati. Nathan, aku
berharap sebuah kecewa yang tak berujung ini segera menemukan muaranya,
karena akupun membatasi titik sabar yang pernah aku punya.
Sudahlah
Nathan, jangan membuatku semakin tak ingin menikmati hidup lebih
panjang lagi. Berhari-hari aku terkepung dalam selimut, ditemani segelas
air putih yang menghilangkan dahagaku. Tapi aku menyegajakan diri
mengabaikan obat-obatan itu tak tersentuh barang sebijipun. Mungkin kau
pikir aku ini bodoh melakukan hal-hal tak masuk akal yang merugikan diri
sendiri, tapi begitulah Nathan, aku benar-benar tidak lagi merasa ingin
menikmati hidup lebih panjang lagi...
Nathan,
dalam beberapa waktu yang lalu aku suka bermain di beranda rumahmu. Aku
suka memperhatikanmu dari jauh di balik semak-semak yang menjadi tempat
favoritku. Hingga saatnya kutemukan sesuatu yang mengiris hati, Nathan.
Lalu aku tak kan pernah lagi berkunjung ke rumahmu seperti biasa,
karena aku memilih ingin menepi dari semak-semak itu....
Nathan,
suatu hari kau akan mengerti kenapa tulisanku yang kutujukan padamu
seamburadul ini, karena seluruh diriku memang kau bikin berantakan. Hati
ini berantakan, jiwa ini berantakan, senyum ini hilang tersisa
senyum-senyum imitasi yang murahan. Apa kau tidak menyadari? Ah ya
Nathan, bagaimana kau akan menyadari keadaanku, sementara kau tidak
sedikitpun tertarik untuk tahu siapa di balik semak-semak yang
seringkali memergoki kamu yang asyik dengan hobbymu: menulis di bawah
rerimbunan bunga Tulip.
Nathan,
akupun bingung harus bagaimana aku memahamkanmu, bahwa di sini ada
gadis malang yang tak henti merengek pada Tuhannya untuk
memperkenalkanmu denganku, lalu kita bersama-sama menulis di sana di
tempat favoritmu. Nathan, kupikir senyumanmu itu memikat siapapun yang
melihatnya, termasuk aku. Tapi aku sadar bahwa ternyata senyummu itu
memiliki makna tersendiri yang baru kupahami setelah tanpa sengaja aku
membaca beberapa tulisan lawas yang pernah kau publikasi...
Lalu
sampai di sini Nathan, aku hanya berharap akan ada jawaban termanis
dari bisikan-bisikan doa yang belum sempat Tuhan jawab padaku. Aku
memilih menyerah untuk tidak lagi memaksa Tuhan seperti kemarin-kemarin,
agar aku tak lagi merasa sakit hati, agar aku tak lagi merasa
dikecewakan, agar aku belajar untuk menguatkan diri sendiri tanpa
siapapun termasuk kamu Nathan.
Nathan,
aku pamit untuk tidak lagi menjadi bayang-bayang kecil yang berada di
dekatmu. Kalau kau merasa kehilangan, tengoklah rumahku ini yang mungkin
suatu saat akan kutinggalkan tanpa bekas... Aku hanya meninggalkan
sebuah surat paling rahasia yang jika kau temukan, mungkin kau sudah
berada di posisi orang paling bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar