Aku menulis, hatiku damai.



Orang-orang kadang bertanya, kenapa kamu menulis? bukankah menulis itu membosankan? menulis itu butuh asupan? menulis itu harus memberi manfaat pada pembacanya, bukan seperti tulisanmu yang absurd dan konyol melulu bicara rindu, kesedihan, ketertimpangan hidup. Aku hanya ingin memberikan jawabannya di sini.
Terkadang aku menulis, bukan karena aku punya ide, toh tulisanku begitu-begitu saja. Sederhana, lebay, konyol. Terkadang pula tulisanku penuh dengan kemarahan. Penuh dengan emosi seseorang yang dikelilingi kemelut lara. Begitulah.... yah, menurutku menulis adalah sebuah kebebasan berekspresi. Aku bisa marah pada siapapun tanpa harus membuat orang lain sakit hati. Aku bisa menghujat siapapun tanpa ada yang merasa dirinya sedang dibully. Aku bahkan bisa meledakkan emosiku di sini tanpa sedikitpun memisuhi orang-orang yang kubenci. Aku bisa menjadi siapapun semauku tanpa ada yang menghalangi. Menulis adalah sebuah kebebasan berekspresi, dimana aku bisa menjadi penjahat, penghujat, pembenci, pembunuh lewat tulisan absurdku. Kadangkala pikiranku gabut tiada tara, ingin berteriak, marah, bahkan aku pernah berpikiran ingin bunuh diri.  Namun, aku sadar aku ini seorang santri yang masih percaya Tuhan akan selalu bersamaku dalam kesabaran dan keikhlasan. Aku juga gadis yang hobby berkhayal, terkadang benar-benar absurd dan bikin geli kalau baca oretanku sendiri. yah sudah kubilang kan, menulis adalah sebuah kebebasan kita berekspresi. Eksplor saja apa yang ada di benakmu, tanpa harus takut akan dibenci, dihujat, dibully... Aku menulis untuk diriku sendiri, menyenangkan diri sendiri bukan untuk siapa-siapa, sebagai bentuk bahwa di sini aku bisa hidup tanpa beban tanpa merasa takut mengungkapkan apapun yang bersarang di kepalaku.
Kemarahan, kebencian, keterpurukan, kegagalan, kehancuran selalu punya cara untuk kembali pulang. Aku memulangkannya lewat tulisan. Entah bagaimana mekanisme reaksi yang terjadi dalam tubuhku, pada saat emosiku sedang tidak stabil, kubiarkan jemari ini dengan lincah menari, bahkan sambil menangispun jadi. Setelah tarian tanganku kelar, otot-ototku yang sedari tadi meregang tersebab kemarahan dengan sendirinya akan rileks, pikiran fresh dan senyumpun terkembang dengan manisnya. Kalau perlu, sambil ngopi, dan ngemie instant adalah cara tersendiri untuk menyakiti tubuhku sendiri dibandingkan orang lain. Kalau masih belum mempan, kucairkan dengan air wudlu untuk menenteramkan hati dan pikiran.
Aku cuma berpikir ketika melihat orang-orang marah dengan makian-makian yang tidak pantas diucapkan, pelototan yang mengerikan, ucapan-ucapan yang menyakitkan kok bisa begitu saja meluncur dengan nyamannya? Apalagi dari diri seorang yang berpendidikan. Kenapa mereka tidak menahannya? kenapa mereka puas ketika berhasil memaki orang lain, mendebat orang lain, bertengkar dengan nada tinggi bersama orang lain? kenapa mereka puas menumpahkan emosinya dengan cara yang seperti itu? kenapa? pertanyaan itu muncul di benakku. 
Aku bahkan bertahan dalam diam, ketika marah. Bukan karena aku tak mampu marah dengan cara seperti mereka. Bukan, karena aku juga manusia normal seperti yang lainnya, bisa marah kapan saja. Hanya saja, kadang aku berpikir, untuk apa marah? untuk apa meninggikan suara di depan orang lain? untuk apa menuntaskan kepuasan hasrat kebencian dalam bentuk makian? untuk apa? bahkan ketika ada orang melotot hingga nyaris keluar bola matanya, aku hanya bisa menundukkan muka. Berusaha menenangkan hati yang kadang kala bergoyang-goyang tersebab marah, jantungku tertabuh untuk meledakkan amarah. Tapi, semuanya ingin kuredam lewat ocehan-ocehan absurdku di sini. Kalau kau tak ingin punya kenangan buruk  abadi di ingatanku, aku punya aturan tersendiri yang sederhana, kau hanya tak perlu memancingku menjelmakanmu dalam oretan-oretanku.  

Eva Edelweis, 20 Oktober 2016.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar