Suatu kali di lokasi KKN, kegiatan TPAnya benar-benar macet total ketika tidak ada mahasiswa KKN. Kesulitan yang kami hadapi, adalah tidak adanya SDM sebagai usaha regenerasi setelah berakhirnya KKN. Karena guru yang dulu pernah menghidupkan TPA adalah para pemuda yang belum berkeluarga. Namun, di sana begitu sulit menemukan pemuda single, yang mau meluangkan waktunya untuk anak-anak. Padahal, anak-anak kecil seusia adek bungsuku begitu banyak.... Tapi, mereka harus menempuh perjalanan ke dusun sebelah yang waktu tempuhnya sekitar 20 menitan dari dusun kami. Tapi, mereka hebat. Mau sejauh apapun, mereka masih punya keinginan yang kuat dan semangat untuk belajar. Kehadiran kami benar-benar menguntungkan, mereka tak lagi harus hijrah ke dusun sebelah untuk belajar mengaji. Kami yang membimbingnya. Ada satu anak spesial diantara mereka, tapi aku lupa namanya.... Sosoknya sangat mencolok, balita paling mungil kira-kira usia 4 tahunan. Kulitnya yang hitam manis, mirip bule Amerika latin kata teman-temanku... Dia hanya mau ditemani ngaji olehku, bukan dengan temanku yang lain. Dia rela berdesakan mengantri untuk belajar bersamaku. Gadis yang paling suka kupeluk, dan kugendong kemana-mana karena dia mirip boneka Susan. Rumahnya yang paling jauh, membuatku harus mengantarnya pulang setiap kali abis TPA. Aku kok kangen dia.... apa kabarnya yah si mungil itu? Masih banyak anak-anak lain yang kita temani belajar... Mereka nakal, tapi menyenangkan. Setiap abis isya, mereka berduyun-duyun mengunjungi rumah pak RT yang kebetulan juga kami tinggal di sana. Setiap dari mereka mulai memilih satu-persatu untuk menemani mereka menyelesaikan PR sekolah. Rumah kami rame, suara anak-anak hanya tenggelam pada saat mereka berada di sekolah.
Duniaku benar-benar tidak bisa terlepas dari dunia anak-anak. Ramadlan tahun ini, aku ikut serta menjadi relawan dai hijrah mahasiswa di kampung-kampung. Kebetulan, desa tempat tinggalku berpenduduk 70% Muslim dan 30% non muslim. Masyarakatnya pun benar-benar awam soal agama. Kadang aku bingung dengan mereka yang suka ngomong ceplas-ceplos begini begitu soal agama, berani mengkafirkan saudaranya yang muslim hanya soal larangan ucapan selamat Natal, berani membid'ah-bid'ahkan perkara yang katanya tidak sesuai tuntunan Rasulullah semacam perayaan maulid Nabi di bulan Rabiul awal, dan masih banyak lagi orang-orang menyerukan tentang agama. Bersikap seolah-olah hanya keyakinannyalah yang paling benar. Mereka tidak peduli bahwa di sudut-sudut negara bermayoritas muslim ini masih banyak yang lupa kewajiban shalat lima waktu. Bahkan, mereka mungkin tidak tahu tata cara shalat yang benar, atau bahkan hanya sekedar status Islam KTP. Mereka tidak peduli itu untuk berdakwah dengan cara yang ramah, bukan ngotot-ngototan di media sosial.. percuma. Berkoar-koar nulis status macam ulama, tapi tidak peduli bahwa masih banyak masyarakat kita tak terjangkau oleh tangan-tangan lembut Kuta untuk diajak menjalankan kewajiban kita pada Tuhan. Sesederhana kita mengajak mereka shalat misalnya..Ahh, aku sudah lepas kendali bicara soal masyarakat. Ayo kembali pada dunia anak-anak. Mereka, masyarakat yang memang minim pengetahuan, lantas menyerahkan anak-anak mereka pada seorang guru. Terutama tentang agama. Jangankan mereka sempat mengajari mereka membaca Al-Quran, bahkan mereka sendiri, syukur-syukur mereka sempat untuk menyuruh mereka berhenti main lalu ke masjid untuk belajar bersama. Mayoritas dari mereka sudah berusia di atas 8 tahun. Tapi, mirisnya mereka belum bisa mengeja huruf Hijaiyah dengan sempurna. Sempat aku menangis dengan kondisi yang seperti ini, aku merasa bersalah kenapa baru kali ini aku merelakan diri terjun dan tinggal dengan masyarakat pada saat aku hampir lulus studi? Kenapa tidak mulai tahun pertama aku meluangkan waktu untuk melirik mereka? Setidaknya, aku tidak hanya menuh-menuhin wilayah jogja, apalagi cuma numpang makan, ngeruk ilmu sekuat tenaga... Aku ingin mengabdi pada mereka sebagai rasa terimakasih telah diijinkan mengeruk ilmu di sana.Namun, mungkin itu semacam takdir Tuhan yang menamparku untuk tidak mudah merasa diriku paham agama dengan sempurna. Takdir Tuhan mencubitku sedikit bergerak mengulurkan tangan untuk berbagi dengan mereka...Tidak terlena mengejar bahagia di dunia tapi peringatan pada diri sendiri bahwa aku bersekolah tinggi untuk mengabdi, bukan memperkaya diri.
Ah ya, inspirasi menulis malam ini benar-benar tak terkendali. Aku kan mau ngomongin anak-anak tapi kok pindah haluan ngomongin sosial masyarakat.... Lain kali kulanjutin kalau ada inspirasi lagi... Oke, back to the topic. Di desa yang kuringgali, ada beragam jenis anak-anak... Beserta kenakalannya. Salah satunya yang masih kuingat adalah Fathan. Lelaki mungil berusia 5 tahun dan baru masuk TK A. Dia itu kalau sedang semangat ngaji, tapi capek ngantri langsung bergelayut di pundakku. Untungnya dia masih bayi di mataku, jadi woles saja mah.... Keliatan dari cara duduknya yang rapi tanpa tolah-toleh dia anak yang paling bersemangat dan menggemaskan. Sayangnya dia nakal pake banget. Pernah suatu kali, aku berjalan melewati kawanan si Fathan menuju masjid, tau-tau bunyi ledakan kecil mengagetkanku. Ya ampun, dia sedang membakar petasan tepat di hadapanku. Ketawanya yang khas, membuatku langsung mengenali Fathan dari balik kegelapan. Selain Fathan ada Dewi, gadis paling mungil berusia 3 tahun yang lebih lucu... Hal yang tidak luput dari dia adalah jilbab mungil yang punya telinga tidak pernah ia lepas sepanjang mataku menemukan sosoknya. Suaranya lembut banget nyaris tak terdengar oleh siapapun ketika dia bicara, ditambah lagi keributan anak-anak lain yang mengguncang suasana... Setiap kali aku melihat mata beningnya, ada rindu pada si gadis bule Amerika di lokasi KKN. Mereka mirip sekali. Raut wajahnya, muka bulatnya, warna kulitnya, benar-benar mirip. Dia juga hanya mau dibimbing ngaji denganku saja. Duduk manis, anteng mengantri di sebelahku. Kadang pula dia berada di pangkuanku. Tapi sayangnya dia tidak suka digendong, lebih senang berkejaran dengan anak-anak yang lain.... Tidak hanya tentang belajar mengajar, kami dituntut juga untuk belajar memahami lapisan masyarakat kecil dalam tata cara hidup santun dengan saudara yang tak seiman. Tidak ada saling menghujat antar kepala seperti halnya yang dilakukan oleh mereka masyarakat di dunia Maya. Mereka hidup satu desa dengan berbekal toleransi yang nyata. Dan aku menuliskan cerita anak-anak ini, masyarakat dari berbagai desa, karena aku kangen mereka. Suatu saat, aku pernah mendaftar jadi relawan Indonesia Mengajar. Tapi pada tahap kedua, Eva batu sadar ternyata mensyaratkan lulus kuliah. Hahaha pada saat itu, Eva masih duduk di semester 5. Centil banget kan? 😁 Tapi, Eva berharap bisa menjadi salah satu bagian dari mereka di lain kesempatan.
*Semacam tulisan pereda ngantuk.