Di suatu sore, tempat kerja.

Suatu sore, ketika tangisku pecah di hadapan seseorang. Belum pernah aku menangis sekencang ini. Tapi hari itu aku benar-benar tidak kuasa menahan air mata yang nyaris bocor sedari pagi. Berbicara tanpa pamit, sesenggukan seorang diri tanpa pernah aku berharap seseorang akan mengerti apa yang sedang aku rasakan. Seperti biasa, aku seolah berbicara pada tembok yang tak henti-hentinya menampung piluku di sini. Siapa lagi yang peduli? Tidak ada. Yah, tidak ada. Kecuali seorang perempuan dengan jilbab lebarnya yang ada tepat di hadapanku hanya menyimak dan sesekali membiarkanku untuk tetap tenang. Tanpa sadar, aku terlelap di kursi customer hingga jam pulang memaksaku untuk bangun. Dia tersenyum, manis sekali. Tenang, kalem, begitulah dia setiap hari. Harusnya aku kerja di sini, benar-benar mengabdikan seluruh tenaga dan waktuku untuk kampusku, tapi keadaan yang buruk telah membuatku lupa diri hingga terlelap walau sejenak dan dia, yah dia membiarkanku terlelap di depannya tanpa membangunkanku dengan muka menjengkelkan tersebab aku tertidur di jam kerja. Ah, betapa kurang ajarnya aku ini. Setelah beberapa saat aku terbangun, dia bilang kalau aku tertidur seperti anak kecil yang butuh pelukan seorang ibu. Aku menulis ini hanya sebagai rasa syukurku pada Tuhan mempertemukanku dengannya. Seorang sahabat yang dulu selalu menjadi tempatku berbagi, yang kini telah pergi tergantikan oleh kehadirannya. Seorang perempuan yang begitu kalem dan anggun, partner kerja, sahabat sekaligus kakak perempuanku di tanah perantauan.

#catatan Eva edelweis, Yogyakarta 22 November 2016
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar