Kadang, kita perlu menepi dari keramaian. Bukan karena anti sosial, tapi kita perlu meluangkan waktu berbincang dengan diri kita sendiri.
Kadang, kita harus bersedekap dengan kesunyian, untuk menyembuhkan kesedihan yang mendalam. Mencoba berdiri di atas sayatan-sayatan luka yang tertinggal.
Terhadap malam, aku tersenyum. Membentuk segaris harapan di tengah-tengah lelapnya orang-orang. Kutuang air mata cinta penuh permohonan untuk kuhidangkan di jamuan antara perjumpaanku dengan Tuhan. Tiada kepalsuan dan dusta yang mencampurinya, hanyalah air mata murni yang berasal dari Curug mata seorang hawa. Penuh keresahan, kegelisahan, perseteruan antara hati dan pikiran.
Kukatakan inilah sebuah cerita paling usang. Tentang perempuan berkalung rindu, berkepala pedang. Tajam dan mengerikan. Ya, dia ini cukup mengerikan. Keliatannya diam, namun ternyata sosok singa hidup dalam dirinya. Terlintas sekilas tentang dia takdzim pada aturan-aturan masyarakat sekitarnya. Pakaian sederhana motif bunga hitam putih dilengkapi corak garis belang-belang pada pinggiran jilbabnya yang juga lengkap dengan sarung motif batik kesayangannya. Dia hanya seorang santri biasa. Ada orang yang menyebutnya sebagai perempuan berkalung rindu, tersebab hari-hari nya penuh kesenduan tentang rindu pada orang-orang yang pernah meninggalkannya. Menangis sepanjang malam tiada henti tanpa peduli bahwa hidup terus berjalan meninggalkannya. Sosok singa yang hidup dalam dirinya, kaku dan layu tak berdaya melawan takdir pahit yang sedang ia telan. Menekuri setiap peristiwa yang pernah ia lalui, bahkan kadang ia lupa diri tubuhnya mulai ringkih tak sesegar wanita seusianya. Hidupnya yang terlalu rumit, kadang membuatnya begitu mudah terserang sakit. Tentang perempuan yang ku ceritakan ini, pernah tertulis dalam lembaran lusuh sebuah kisah nyata yang pernah kubaca di ruang tamu. Entahlah, gimana ending ceritanya tersebab air mataku mulai merembes tiap kali aku membaca kisahnya, padahal belum sampai di akhir cerita. Aku pun merasa perempuan itu adalah aku, membayangkan beberapa kepiluan yang ia sembunyikan seorang diri, betapa mengerikan cerita tentangnya. Kisah dia yang tak pernah selesai kubaca karena ketidaksanggupanku memasuki jalan hidupnya, mencoba menggapai mungkinkah kutemukan mutiara hikmah di balik semuanya. Tentang kesabaran tiada batas, ketulusan, kesetiaan, kesederhanaan dan keangkuhannya. Mungkin lain kali aku harus melanjutkan kisah ini padamu agar sepotong cerita yang hanya sekilas ini menjadi mudah kau pahami, bahwa terkadang tulisan seseorang mewakili pesan-pesan hati dari penulisnya.
Kadang, kita harus bersedekap dengan kesunyian, untuk menyembuhkan kesedihan yang mendalam. Mencoba berdiri di atas sayatan-sayatan luka yang tertinggal.
Terhadap malam, aku tersenyum. Membentuk segaris harapan di tengah-tengah lelapnya orang-orang. Kutuang air mata cinta penuh permohonan untuk kuhidangkan di jamuan antara perjumpaanku dengan Tuhan. Tiada kepalsuan dan dusta yang mencampurinya, hanyalah air mata murni yang berasal dari Curug mata seorang hawa. Penuh keresahan, kegelisahan, perseteruan antara hati dan pikiran.
Kukatakan inilah sebuah cerita paling usang. Tentang perempuan berkalung rindu, berkepala pedang. Tajam dan mengerikan. Ya, dia ini cukup mengerikan. Keliatannya diam, namun ternyata sosok singa hidup dalam dirinya. Terlintas sekilas tentang dia takdzim pada aturan-aturan masyarakat sekitarnya. Pakaian sederhana motif bunga hitam putih dilengkapi corak garis belang-belang pada pinggiran jilbabnya yang juga lengkap dengan sarung motif batik kesayangannya. Dia hanya seorang santri biasa. Ada orang yang menyebutnya sebagai perempuan berkalung rindu, tersebab hari-hari nya penuh kesenduan tentang rindu pada orang-orang yang pernah meninggalkannya. Menangis sepanjang malam tiada henti tanpa peduli bahwa hidup terus berjalan meninggalkannya. Sosok singa yang hidup dalam dirinya, kaku dan layu tak berdaya melawan takdir pahit yang sedang ia telan. Menekuri setiap peristiwa yang pernah ia lalui, bahkan kadang ia lupa diri tubuhnya mulai ringkih tak sesegar wanita seusianya. Hidupnya yang terlalu rumit, kadang membuatnya begitu mudah terserang sakit. Tentang perempuan yang ku ceritakan ini, pernah tertulis dalam lembaran lusuh sebuah kisah nyata yang pernah kubaca di ruang tamu. Entahlah, gimana ending ceritanya tersebab air mataku mulai merembes tiap kali aku membaca kisahnya, padahal belum sampai di akhir cerita. Aku pun merasa perempuan itu adalah aku, membayangkan beberapa kepiluan yang ia sembunyikan seorang diri, betapa mengerikan cerita tentangnya. Kisah dia yang tak pernah selesai kubaca karena ketidaksanggupanku memasuki jalan hidupnya, mencoba menggapai mungkinkah kutemukan mutiara hikmah di balik semuanya. Tentang kesabaran tiada batas, ketulusan, kesetiaan, kesederhanaan dan keangkuhannya. Mungkin lain kali aku harus melanjutkan kisah ini padamu agar sepotong cerita yang hanya sekilas ini menjadi mudah kau pahami, bahwa terkadang tulisan seseorang mewakili pesan-pesan hati dari penulisnya.
Edelweis, Yogyakarta 18 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar