Kadang ketika aku jenuh dengan rutinitas harianku, letih menghadapi berbagai masalah yang menyerangku, aku ingin sekali kembali menjadi kanak-kanak yang menggemaskan. Riang berlarian kesana kemari, bermain sepuas hati. Menangis ketika dijaili teman sendiri, lalu pada detik kesekian kembali tertawa riang.... Sesederhana itu kehidupan anak-anak. Semenyenangkan itu hidup mereka. Tidak ada yang marah-marah ketika berulah, tidak ada yang berani memaksakan kehendak pada anak-anak, segala maunya dituruti. Aku kadang berpikir untuk menjelma menjadi mereka, membelah diri menjadi beberapa bagian, salah satunya menjadi anak-anak bebas dosa. Aku menyukai mereka begitupun dengan dunianya. Aku suka sekali menjahili, mencubiti,bikin nangis, mencoel-coel pipi mereka... Hahahaha mereka itu menggemaskan. Saat kesepian mulai melanda, seringkali aku rindu pulang. Di sana, di rumahku, adalah taman bermain para balita. Bayi-bayi lucu wangi minyak telon dengan muka penuh bedak, berkumpul di musholla rumah. Mereka main petak umpet, berkejaran sambil lalu belajar bacaan-bacaan shalat. Ada yang masih terbata-bata dengan kalimat syahadat nya, ada yang sudah lancar melafalkan niat shalat, ada  pula yang hanya terdiam menyimak bule'ku yang telaten mengajarinya. Bagian pengenalan huruf Hijaiyah, aku yang seringkali menggantikan ayahku untuk mengajarinya. Kegiatan itu hanya bisa kukenang hari ini, ketika aku jenuh dengan segalanya. Dunia anak-anak adalah hiburan tersendiri bagiku.

Suatu kali di lokasi KKN, kegiatan TPAnya benar-benar macet total ketika tidak ada mahasiswa KKN. Kesulitan yang kami hadapi, adalah tidak adanya SDM sebagai usaha regenerasi setelah berakhirnya KKN. Karena guru yang dulu pernah menghidupkan TPA adalah para pemuda yang belum berkeluarga. Namun, di sana begitu sulit menemukan pemuda single, yang mau meluangkan waktunya untuk anak-anak.  Padahal, anak-anak kecil seusia adek bungsuku begitu banyak.... Tapi, mereka harus menempuh perjalanan ke dusun sebelah yang waktu tempuhnya sekitar 20 menitan dari dusun kami. Tapi, mereka hebat. Mau sejauh apapun, mereka masih punya keinginan yang kuat dan semangat untuk belajar. Kehadiran kami benar-benar menguntungkan, mereka tak lagi harus hijrah ke dusun sebelah untuk belajar mengaji. Kami yang membimbingnya. Ada satu anak spesial diantara mereka, tapi aku lupa namanya.... Sosoknya sangat mencolok, balita paling mungil kira-kira usia 4 tahunan. Kulitnya yang hitam manis, mirip bule Amerika latin kata teman-temanku... Dia hanya mau ditemani ngaji olehku, bukan dengan temanku yang lain. Dia rela berdesakan mengantri untuk belajar bersamaku. Gadis yang paling suka kupeluk, dan kugendong kemana-mana karena dia mirip boneka Susan. Rumahnya yang paling jauh, membuatku harus mengantarnya pulang setiap kali abis TPA. Aku kok kangen dia.... apa kabarnya yah si mungil itu? Masih banyak anak-anak lain yang kita temani belajar... Mereka nakal, tapi menyenangkan. Setiap abis isya, mereka berduyun-duyun mengunjungi rumah pak RT yang kebetulan juga kami tinggal di sana. Setiap dari mereka mulai memilih satu-persatu untuk menemani mereka menyelesaikan PR sekolah. Rumah kami rame, suara anak-anak hanya tenggelam pada saat mereka berada di sekolah.

Duniaku benar-benar tidak bisa terlepas dari dunia anak-anak. Ramadlan tahun ini, aku ikut serta menjadi relawan dai hijrah mahasiswa di kampung-kampung. Kebetulan, desa tempat tinggalku berpenduduk 70% Muslim dan 30% non muslim. Masyarakatnya pun benar-benar awam soal agama. Kadang aku bingung dengan mereka yang suka ngomong ceplas-ceplos begini begitu soal agama, berani mengkafirkan saudaranya yang muslim hanya soal larangan ucapan selamat Natal, berani membid'ah-bid'ahkan perkara yang katanya tidak sesuai tuntunan Rasulullah semacam perayaan maulid Nabi di bulan Rabiul awal, dan masih banyak lagi orang-orang menyerukan tentang agama. Bersikap seolah-olah hanya keyakinannyalah yang paling benar. Mereka tidak peduli bahwa di sudut-sudut negara bermayoritas muslim ini masih banyak yang lupa kewajiban shalat lima waktu. Bahkan, mereka mungkin tidak tahu tata cara shalat yang benar, atau bahkan hanya sekedar status Islam KTP. Mereka tidak peduli itu untuk berdakwah dengan cara yang ramah, bukan ngotot-ngototan di media sosial.. percuma. Berkoar-koar nulis status macam ulama, tapi tidak peduli bahwa masih banyak masyarakat kita tak terjangkau oleh tangan-tangan lembut Kuta untuk diajak menjalankan kewajiban kita pada Tuhan.  Sesederhana kita mengajak mereka shalat misalnya..Ahh, aku sudah lepas kendali bicara soal masyarakat. Ayo kembali pada dunia anak-anak. Mereka, masyarakat yang memang minim pengetahuan, lantas menyerahkan anak-anak mereka pada seorang guru. Terutama tentang agama. Jangankan mereka sempat mengajari mereka membaca Al-Quran, bahkan mereka sendiri, syukur-syukur mereka sempat untuk menyuruh mereka berhenti main lalu ke masjid untuk belajar bersama. Mayoritas dari mereka sudah berusia di atas 8 tahun. Tapi, mirisnya mereka belum bisa mengeja huruf Hijaiyah dengan sempurna. Sempat aku menangis dengan kondisi yang seperti ini, aku merasa bersalah kenapa baru kali ini aku merelakan diri terjun dan tinggal dengan masyarakat pada saat aku hampir lulus studi? Kenapa tidak mulai tahun pertama aku meluangkan waktu untuk melirik mereka? Setidaknya, aku tidak hanya menuh-menuhin wilayah jogja, apalagi cuma numpang makan, ngeruk ilmu sekuat tenaga... Aku ingin mengabdi pada mereka sebagai rasa terimakasih telah diijinkan mengeruk ilmu di sana.Namun, mungkin itu semacam takdir Tuhan yang menamparku untuk tidak mudah merasa diriku paham agama dengan sempurna. Takdir Tuhan mencubitku sedikit bergerak mengulurkan tangan untuk berbagi dengan mereka...Tidak terlena mengejar bahagia di dunia tapi peringatan pada diri sendiri bahwa aku bersekolah tinggi untuk mengabdi, bukan memperkaya diri.

Ah ya, inspirasi menulis malam ini benar-benar tak terkendali. Aku kan mau ngomongin anak-anak tapi kok pindah haluan ngomongin sosial masyarakat.... Lain kali kulanjutin kalau ada inspirasi lagi... Oke, back to the topic. Di desa yang kuringgali, ada beragam jenis anak-anak... Beserta kenakalannya. Salah satunya yang masih kuingat adalah Fathan. Lelaki mungil berusia 5 tahun dan baru masuk TK A. Dia itu kalau sedang semangat ngaji, tapi capek ngantri langsung bergelayut di pundakku. Untungnya dia masih bayi di mataku, jadi woles saja mah.... Keliatan dari cara duduknya yang rapi tanpa tolah-toleh dia anak yang paling bersemangat dan menggemaskan. Sayangnya dia nakal pake banget. Pernah suatu kali, aku berjalan melewati kawanan si Fathan menuju masjid, tau-tau bunyi ledakan kecil mengagetkanku. Ya ampun, dia sedang membakar petasan tepat di hadapanku. Ketawanya yang khas, membuatku langsung mengenali Fathan dari balik kegelapan. Selain Fathan ada Dewi, gadis paling mungil berusia 3 tahun yang lebih lucu... Hal yang tidak luput dari dia adalah jilbab mungil yang punya telinga tidak pernah ia lepas sepanjang mataku menemukan sosoknya. Suaranya lembut banget nyaris tak terdengar oleh siapapun ketika dia bicara, ditambah lagi keributan anak-anak lain yang mengguncang suasana... Setiap kali aku melihat mata beningnya, ada rindu pada si gadis bule Amerika di lokasi KKN. Mereka mirip sekali. Raut wajahnya, muka bulatnya, warna kulitnya, benar-benar mirip. Dia juga hanya mau dibimbing ngaji denganku saja. Duduk manis, anteng mengantri di sebelahku. Kadang pula dia berada di pangkuanku. Tapi sayangnya dia tidak suka digendong, lebih senang berkejaran dengan anak-anak yang lain.... Tidak hanya tentang belajar mengajar, kami dituntut juga untuk belajar memahami lapisan masyarakat kecil dalam tata cara hidup santun dengan saudara yang tak seiman. Tidak ada saling menghujat antar kepala seperti halnya yang dilakukan oleh mereka masyarakat di dunia Maya. Mereka hidup satu desa dengan berbekal toleransi yang nyata. Dan aku menuliskan cerita anak-anak ini, masyarakat dari berbagai desa, karena aku kangen mereka. Suatu saat, aku pernah mendaftar jadi relawan Indonesia Mengajar. Tapi pada tahap kedua, Eva batu sadar ternyata  mensyaratkan lulus kuliah. Hahaha pada saat itu, Eva masih duduk di semester 5. Centil banget kan?  😁 Tapi, Eva berharap bisa menjadi salah satu bagian dari mereka di lain kesempatan.

*Semacam tulisan pereda ngantuk.
Katanya aku ini begini, harus begini.... Well, kalau aku tidak begitu dia jadi marah. Aku sih bingung dengan muka jelimet dia yang lebih ngeri dari angka. Kok dia seringkali marah, seringkali ngedumel sendiri karena aku yang tidak mau mengikuti maunya. Ini kan kebebasan. Aku boleh jadi diriku sendiri, tidak harus seperti yang kau mau. Huufft tidak tau ya rasanya memendam perasaan? Aku sering kok tidak sepakat denganmu, sering kesel dengan kamu, tapi tidak lantas marah-marah seenaknya dengan ngotot kayak gitu.... Aku cuma ngaca pada diriku sendiri, bahwa aku tak suka dimarahin, tak suka diatur, tak suka orang lain ikut campur. Kamu harusnya paham dong, kalau kamu lagi ngeselin itu, mukaku udah kayak nenek Lampir mau nyakar kamu, Jambak rambutmu, jitak kepalamu pokoknya aku puas melampiaskan kemarahanku. Tapi tidak pernah kulakukan semacam itu. Aku memilih diam dan menepi dari jangkauanmu. Aku memilih hati yang damai agar tak terbersit membencimu. Aku memilih diam untuk mencipta damai sejahtera dalam batinku. Kamu suka bilang begini padaku "Va, kamu kok tahan sih seharian ini ga ngomong sama sekali denganku, padahal dari tadi ada aku di sini." Tak taukah kamu, di saat-saat seperti itu aku sedang meredam marah luar biasa denganmu. Kamu yang menjengkelkan, bicaramu yang tajam, menusuk-nusuk hingga hati yang paling dasar... Tidak sadarkah kamu untuk mengubah dirimu sendiri sebelum kau mendikteku dengan banyak hal, mengomentari kebisuanku, membicarakan kekonyolanku, mentertawakan hal-hal yang menurutmu ga penting. Heii, bahagia menurutku itu sederhana, kita bisa menciptakannya. Tidak mesti terlihat bahagia di mata orang lain, pamer begini-begitu di depan khalayak ramai, tidak.. aku tak seperti itu. Aku hidup dalam duniaku, imajinasiku, dan kau tidak berhak mengomentari sinis apalagi marah-marah dengan segala hal yang kulakukan tapi kau tidak menyukainya. Ini kan ranahku, kamu sadari itu. Aku menulis ini sebagai diary tulisan yg paling menyebalkan. Aku marah dalam tulisan ini hanya sebagai rasa kesal sesaat yang akan segera menghapus kemarahan yang membatin selama beberapa bulan terakhir ini. Aku juga manusia, berhak marah pada hal-hal yang tak ku sepakati, bukan cuma penikmat kemarahan orang lain. Tenang saja, ketika marahku mereda, aku akan menghapus tulisan ini dengan segera.

Rasa kehilangan itu bukan lagi hal yang mengagetkan. Separuh kesadaran ku hilang. Kosong. linglung. Apalah rasa cinta yang sehambar ini? Pada sebuah fase dimana kerinduan ku benar-benar membuncah, ingin sekali menjumpainya memeluk erat tak kan ku lepas... Tapi, dia sudah pergi menemui Tuhan yang jauh lebih merindukannya. Terakhir kali aku menemuinya tepat bulan lalu, menciuminya tiada henti. Namun rasa sakit luar biasa menggerayangi seluruh tubuhku. Dia sudah tidak mengenaliku lagi. Bahkan sekedar memanggil namaku saja tidak. Ciuman terakhir yang tak pernah terlupakan. Aku pergi meninggalkannya, lalu ia pun pergi meninggalkanku. 
Sesosok wanita paling tangguh dalam hidupku. Aku masih ingat bagaimana dulu dia masih selalu sanggup membangunkanku waktu subuh, bahkan menyiapkan makanan sahurku untuk puasa Senin kamis sampai tiada lelah yg kulihat ketika dia tetap semangat sambil tersenyum menyiapkan buka puasa. Aku masih ingat tentang Kehangatan pelukannya, ciumannya, kelembutan bicaranya, ahh aku rindu masa-masa itu. Dimana aku seringkali bertingkah terlalu liar tanpa pernah menyadari, orang itu hanya menemaniku 21 tahun saja. Tuhan, bukan aku tidak rela... Tapi sungguh, kehilangannya membuatku semakin tak bernafsu saja untuk hidup lebih lama lagi. Tidak tahukah bahwa tiada orang yang sesayang itu padaku? Tidak ada, bahkan semua orang iri denganku. Kau menyayangiku lebih dari yang lain. Aku berbeda, katamu waktu itu. Ya, aku berbeda dari yang lain. Ibuku tak sesayang ini padaku. Hanya wanita inilah yang tiap hari mencurahkan kasihnya sedemikian rupa padaku. Orang-orang pun hanya berani memarahi kenakalanku, hanya wanita inilah yang sering kali memelukku saat tiada satupun yang memahami keinginanku. Kami bicara dari hati ke hati, hingga terlelap dalam buaian mimpi. Dia hanyalah ibu dari ibuku. Tapi segalanya bagiku.... Tahun 2016 adalah tahun kesedihan bagiku. Ditinggalkan orang-orang yang penting, orang-orang yang punya hati melebihi hati seorang ibu. Tapi, satu hal yang aku yakini jejak mereka masih di sini, kekal, membekas dalam relung hati. Semoga Tuhan memberkahi, detik-detik jalan yang akan kulalui. Tanpa mereka, orang-orang pilihan Tuhan yang hanya sebentar menemaniku mengajarkanku bahwa dunia ini akan damai dengan kasih sayang. Bukan kemarahan, kebencian, dan dendam yang kau tanam. Akan ada benih-benih lain, pengganti orang yang meninggalkanmu sekalipun dia mungkin bukan siapa-siapa di bagian hidupmu. Semoga Allah tetap menjagamu sebagaimana kau menjagaku, semoga Allah selalu memelukmu sebagaimana kau memelukku, semoga Allah menyayangimu lebih dari apapun sebagaimana kau menyayangiku tanpa batas. Kehilanganmu puncak segalanya. Selamat tinggal Nek. Hari ini aku punya satu pertanyaan yang membingungkan, esok kalau aku pulang ke rumah, pada siapa aku memulangkan rindu? Pada siapa aku akan bercerita bahwa aku masih cucumu yang penuh ambisi jadi siswa terbaik? Pada siapa akan ku pulangkan rasa lelah yang menggantung dalam diriku? Pada siapa aku hendak memeluk jika tak satupun orang yang Sudi mendengarkan keinginan hatiku? Pada siapa lagi??  Jika aku kehilangan arah, kehilangan kesabaran, dan hanya keegoisan yang tetap menyala, biarkanlah aku segera menemuimu di sana. Membayar rindu berkepanjangan tanpa lagi kebanjiran air mata. Pertemuan paling membahagiakan antara kau dan aku di surga. Selamat hari ibu, Nek. Kehilanganmu adalah mimpi buruk paling nyata dari sekian kerisauan paling memilukan. 

Kadang hujan mengingatkanku akan kesedihan yang mendalam. Setetes hujan sejuta ingatan. Menenggelamkanku dalam larutan kepiluan. Ah, Tuhan.... Tolong jangan kau hadirkan lagi seseorang yang mencoba mengaduk-aduk hatiku yang sedang kacau.
Aku lelah ditinggalkan... Aku pun letih melupakan. Orang-orang datang pergi semaunya, tidak peduli ia sedang meninggalkan luka lebam di sini.. mencoba masuk tuk mengisi ruang-ruang kosong di hati. Memilin-milin perasaan, mengacaukan pikiran lalu pergi meninggalkan harapan. Ah, kau ini... Rupanya ingin main-main denganku. Bukankah sudah kukatakan berulang kali jangan menghilang untuk dicari.
Kalau kau hanya singgah, tolong pergi jauh karena hati bukan halte semacam tempat persinggahan. Kalau kau ingin tinggal, menetaplah tanpa keraguan akan menyesal. Aku pernah menanyakan berulang kali tentang kesungguhan, bukan karena meyakini kau sedang berdusta tapi memastikan jawabanmu tak pernah berubah meski beribu kali kutanyakan ulang.
*Semacam tulisan pereda hujan


Edelweis, Yogyakarta19 Desember 2016

Kadang, kita perlu menepi dari keramaian. Bukan karena anti sosial, tapi kita perlu meluangkan waktu berbincang dengan diri kita sendiri.
Kadang, kita harus bersedekap dengan kesunyian, untuk menyembuhkan kesedihan yang mendalam. Mencoba berdiri di atas sayatan-sayatan luka yang tertinggal.
Terhadap malam, aku tersenyum. Membentuk segaris harapan di tengah-tengah lelapnya orang-orang. Kutuang air mata cinta penuh permohonan untuk kuhidangkan di jamuan antara perjumpaanku dengan Tuhan. Tiada kepalsuan dan dusta yang mencampurinya, hanyalah air mata murni yang berasal dari Curug mata seorang hawa. Penuh keresahan, kegelisahan, perseteruan antara hati dan pikiran.
Kukatakan inilah sebuah cerita paling usang. Tentang perempuan berkalung rindu, berkepala pedang. Tajam dan mengerikan. Ya, dia ini cukup mengerikan. Keliatannya diam, namun ternyata sosok singa hidup dalam dirinya. Terlintas sekilas tentang dia takdzim pada aturan-aturan masyarakat sekitarnya. Pakaian sederhana motif bunga hitam putih dilengkapi corak garis belang-belang pada pinggiran jilbabnya yang juga lengkap dengan sarung motif batik kesayangannya. Dia hanya seorang santri biasa. Ada orang yang menyebutnya sebagai perempuan berkalung rindu, tersebab hari-hari nya penuh kesenduan tentang rindu pada orang-orang yang pernah meninggalkannya. Menangis sepanjang malam tiada henti tanpa peduli bahwa hidup terus berjalan meninggalkannya. Sosok singa yang hidup dalam dirinya, kaku dan layu tak berdaya melawan takdir pahit yang sedang ia telan. Menekuri setiap peristiwa yang pernah ia lalui, bahkan kadang ia lupa diri tubuhnya mulai ringkih tak sesegar wanita seusianya. Hidupnya yang terlalu rumit, kadang membuatnya begitu mudah terserang sakit. Tentang perempuan yang ku ceritakan ini, pernah tertulis dalam lembaran lusuh sebuah kisah nyata yang pernah kubaca di ruang tamu. Entahlah, gimana ending ceritanya tersebab air mataku mulai merembes tiap kali aku membaca kisahnya, padahal belum sampai di akhir cerita. Aku pun merasa perempuan itu adalah aku, membayangkan beberapa kepiluan yang ia sembunyikan seorang diri, betapa mengerikan cerita tentangnya. Kisah dia yang tak pernah selesai kubaca karena ketidaksanggupanku memasuki jalan hidupnya, mencoba menggapai mungkinkah kutemukan mutiara hikmah di balik semuanya. Tentang kesabaran tiada batas, ketulusan, kesetiaan, kesederhanaan dan keangkuhannya. Mungkin lain kali aku harus melanjutkan kisah ini padamu agar sepotong cerita yang hanya sekilas ini menjadi mudah kau pahami, bahwa terkadang tulisan seseorang mewakili pesan-pesan hati dari penulisnya.

Edelweis, Yogyakarta 18 Desember 2016
Sudah lama kita tidak jumpa, apa kabarmu di sana? Tak maukah kau berbagi kabar denganku? 
Sudah lama kita tak saling sapa, sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. sibuk dengan perasaan masing-masing... Hingga mungkin kau lupa, bahwa kita pernah memiliki perasaan yang sama. 

Aku masih ingat bagaimana kita menikmati pagi duduk berdua diantara keramaian kota hingga petang menyapa. Asyik bukan? yah, tentu saja... tapi kapan kita akan punya peluang menghabiskan waktu bersama lagi meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi tubruk racikanku di antara pahitnya kisah kita? Menyeruput kopi bersama hidangan sepotong roti yang kau bawa dari seberang kota. Sudah lama kita tak menikmatinya bersama, duduk berdua berbagi apapun yang kau suka dan kusuka. 

Berbahagialah, dengan hidupmu yang baru bersama orang yang mencintaimu. Jangan lagi mengingat dan mengenang masa lalu. Rasa pilu yang kau tinggalkan, akan sembuh dengan sendirinya. Berbahagialah, tanpa harus melibatkanku lagi dalam hal apapun. Kita bukan lagi sesiapa hari ini, maka jangan lagi sekali-kali kau mencoba datang mengingatkanku pada rasa sakit yang pernah kau cipta. 

Selamat datang di kehidupan yang baru, begitupun aku. Lembaran kisah di masa lalu telah kusimpan rapi di antara banyak lukisan luka yang pernah kupiara, tergantikan oleh kisah hidup baru yang tentu membahagiakan. Kau tak usah lagi khawatir bagaimana aku yang gabut ketika satu hari saja kau menghilang tak memberi kabar sedikitpun. Karena kita hari ini adalah sama-sama orang asing yang pernah datang di masa silam. Berbahagialah kita dengan hidup kita masing-masing, terimakasih pernah memberi warna di antara sekian hari yang Tuhan karuniakan untukku mengecap sebuah kenangan dan proses bangkit dari kepiluan. 

Catatan Edelweis, Yogyakarta 11 Desember 2016
Suatu sore, ketika tangisku pecah di hadapan seseorang. Belum pernah aku menangis sekencang ini. Tapi hari itu aku benar-benar tidak kuasa menahan air mata yang nyaris bocor sedari pagi. Berbicara tanpa pamit, sesenggukan seorang diri tanpa pernah aku berharap seseorang akan mengerti apa yang sedang aku rasakan. Seperti biasa, aku seolah berbicara pada tembok yang tak henti-hentinya menampung piluku di sini. Siapa lagi yang peduli? Tidak ada. Yah, tidak ada. Kecuali seorang perempuan dengan jilbab lebarnya yang ada tepat di hadapanku hanya menyimak dan sesekali membiarkanku untuk tetap tenang. Tanpa sadar, aku terlelap di kursi customer hingga jam pulang memaksaku untuk bangun. Dia tersenyum, manis sekali. Tenang, kalem, begitulah dia setiap hari. Harusnya aku kerja di sini, benar-benar mengabdikan seluruh tenaga dan waktuku untuk kampusku, tapi keadaan yang buruk telah membuatku lupa diri hingga terlelap walau sejenak dan dia, yah dia membiarkanku terlelap di depannya tanpa membangunkanku dengan muka menjengkelkan tersebab aku tertidur di jam kerja. Ah, betapa kurang ajarnya aku ini. Setelah beberapa saat aku terbangun, dia bilang kalau aku tertidur seperti anak kecil yang butuh pelukan seorang ibu. Aku menulis ini hanya sebagai rasa syukurku pada Tuhan mempertemukanku dengannya. Seorang sahabat yang dulu selalu menjadi tempatku berbagi, yang kini telah pergi tergantikan oleh kehadirannya. Seorang perempuan yang begitu kalem dan anggun, partner kerja, sahabat sekaligus kakak perempuanku di tanah perantauan.

#catatan Eva edelweis, Yogyakarta 22 November 2016
Ketika waktu mengajariku untuk segera menepi dari kebrutalan rindu..
Menolak segala alasan dari sebuah perjumpaan. Bukan, bukan aku tidak rindu. Tapi aku ingin tahu betul apakah hati ini sanggup kutusuk berkali-kali untuk puasa dari menjumpaimu? Sekuat apakah hati ini jika kutekan sedemikian rupa tatkala rindu mulai memburu?
Seseorang pernah mengataiku dengan lugas, bahwa hati yang biru sebab rindu tapi ia kuat menahannya, maka dimana lagi letak sebuah perasaan paling mengkhawatirkan dibandingkan menunggu sebuah pertemuan? Tapi, sekali lagi kukatakan bukan aku diam membisu, sesekali menarik napas yang mulai megap-megap ketika jantung hendak meloncat dari tempatnya saat kau mulai kejam menari-nari tersenyum lepas di sepanjang mimpiku.... memanggilku layaknya orang bertawaf dengan seluruh rapalan doa. Tidak tahukah bahwa namamu cukup kubisikkan saja pada Tuhan, bahwa hanya kamu saja yang kuinginkan? Biarlah, mau sepanjang apapun jarak memisahkan, waktu akan mengembalikan kita pada satu titik terang di jalan yang sama: perjumpaan paling dinantikan menuju sebuah ritual kehalalan. 



Edelweis, Yogyakarta 11 Desember 2016


      Eva mengucapkan selamat memperingati Hari Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada tanggal 10 Desember ^_^  Barangkali aku menuliskannya di sini untuk merayakan secara pribadi dan semacam do'a yang kurapal pada Tuhan. 
      Siapapun yang baca, semoga kalian turut mengaminkan doaku. Sebatas do'a untuk hati yang sedang lelah, diri yang lemah, dan sepotong harapan yang masih kubisikkan tanpa henti. Semoga Tuhanpun tidak lelah mendengarkanku....
      Ketika Suriah, Aleppo, Palestina, dan negara-negara lain tertindas oleh ketidakadilan manusia, mereka yang berhak hidup di atas tanah lahir mereka sendiri, mereka yang terenggut seluruh haknya kecuali hak mengadukan diri pada Tuhan.... di sini akupun ingin meminta hak asasi hidup atas diriku sendiri. Aku ingin "hak" ku tak direnggut siapapun termasuk oleh mereka yang kusebut keluarga. Aku ingin bebas berekspresi menjadi diriku sendiri tanpa ada semacam rasa takut berkepanjangan. Aku ingin bebas melangkah mengikuti mau kaki kemanapaun ingin berpijak, bahkan ketika aku harus terlepas dari "jangkauan" tanggung jawab mereka. Aku ingin berjalan seorang diri tanpa seorangpun menguntitku bahkan jikalau ada pembegal sekalipun... Aku ingin bebas menentukan kemana harus kubawa tubuh ringkih ini pada satu tujuan.... terakhir, Aku juga ingin bebas mengambil keputusan dalam memilih pasangan... Aku ingin, aku ingin.... yah sebatas aku ingin.... yang kuharap satu bulan kedepan dan selanjutnya segala ingin tidak lagi menjelma sebuah "ingin".
      Kau barangkali akan berbicara denganku sepanjang artikel 2000 kata dalam waktu yang tak kurang dari 1 jam untuk sekedar ngoceh di depanku, kenapa semua yang kukatakan hanya ingin? yah, kenapa tidak kau bicarakan pada objek utama yang akan siap menerima semua kegundahanmu? semacam teman atau keluarga, atau siapapaun yang kau rasa telah merenggut "hak"mu itu?  Kau barangkali mungkin akan memberiku segenap nasihat baik yang super bijak untukku, hanya untuk melunasi banyak "ingin" yang kuinginkan. Kau mungkin sudah akan memberiku seribu wejangan, atau bahkan mengataiku "ALAY" menuliskan hal yang tidak penting semacam ini di blog pribadi yang bisa dibaca oleh banyak orang hanya untuk mencari perhatian dan berbagi banyak kegalauan. Kau boleh memilih menjadi salah satu dari yang kutulis ini... asal kalau ketemu aku jangan ngamuk-ngamuk apalagi minta dijajanin meski hanya di kantin, karena aku sedang belum ada duit ...
      Terkadang orang lain hanya mampu mengomentari begitu saja, padahal tidak tahu apa-apa.. bahkan tidak tahu "lapangan hidup" kita seperti apa... Maka di sini kalian kusarankan untuk mengamini saja semua "ingin" yang kunginkan tadi, tidak usah mengutuki apalagi mentertawakan. Gampang, mudah, mungkin begitu pikir kalian membaca beberapa pintaku tadi, tapi lagi-lagi harus kuingatkan kadang kita tidak boleh begitu saja mengomentari hidup orang lain, karena medan hidup yang aku dan kalian jalani tentu tidak sama meski dalam suasana problem yang sama. 
      Aku ingin Hak Asasi Manusia itu tak hanya berlaku untuk negara-negara yang terjajah, tapi berlaku juga untukku. Apalagi mengingat usiaku yang sudah berlabuh di angka ke-21 bukankah itu usia yang cukup jauh untuk mulai belajar menemukan jati diri sendiri? Bukankah angka itu cukup tua untuk tidak melulu mengiyakan hal-hal yang sebenarnya tidak ia sepakati? Bukankah angka itu cukup kuat sebagai alasan bahwa kau berhak menyuarakan isi hati pada orang lain tanpa harus merasa ketakutan akan mengecewakan, dibenci, atau bahkan disingkirkan? Bukankah angka itu cukup ganjil untuk seseorang masih harus merengek sana-sini karena urusan sepele, sesepele "malakin" duit orang tua tiap bulan? Bukankah angka itu  sudah cukup mewakili kedewasaan seseorang untuk dilepaskan dalam memilih segala keputusan dalam hidupnya? Bahkan termasuk memilih pasanganpun... Yah, tapi nyatanya angka 21 hanya sekedar angka kosong di mataku. Tak ada artinya karena aku masih di sini, berkutat seorang diri di salah satu kamar asrama, mematut diri di depan cermin seraya berkata "sudahkah saya berhasil menjadi manusia yang merdeka tanpa penjajahan oleh siapapun dalam bentuk apapun?" Terlalu pengecut untuk berani mengungkap segala macam rasa yang bercampur, mengental dalam pikiran selama beberapa bulan terakhir ini, yang ujung-ujungnya berakhir pada rembesan air mata dimana-mana. Tak peduli lagi di jalan raya, atau sedang sibuk bekerja, tetap saja jika sudah merasa mual dengan perasaan tak enak yang sudah lama mendiami pikiran selalu berakhir dalam bentuk tangisan. Kupikir aku ini mengerikan, jika sudah menangis seperti ini. Kebanjiran tentu saja... tak tau diri untuk sekedar menutup segala keresahan di tempat yang banyak orang berseliweran, tidak tahan untuk sekedar menangis kencang di balik tindihan selimut yang menghangatkan.... arrgghhh... dalam keadaan seperti ini aku  kadang memang kehilangan rasa malu...
      Aku menuliskan ini bukan untuk berbagi kegalauan apalagi berlaku sok menyedihkan, tapi hanya sekedar perayaan hari Hak Asasi Manusia sekaligus perapalan do'a di penghujung bulan tahun ini, barangkali Tuhan sudi kubujuk rayu untuk mengiyakan seluruh permintaan hati yang kutulis dari hati yang paling kusut. Satu hal yang kuyakini, ketika nyaris merasa hanya do'a yang bisa kulakukan dan tersisa sepotong harapan yang kugantungkan pada Tuhan, beserta keyakinan 100% tiada minus meski 0,000000001 % pun Tuhan pasti menjawab segala ingin yang kusuarakan dari hati terdalam sekalipun, bahkan mungkin Tuhan yang lebih memahami bahwa serumit apapun yang kujelaskan pada siapapun, Dia yang paling paham dan mau mengIyakan...... atau barangkali saat aku menuliskan tulisan yang agak kurang penting semacam ini, mungkin Malaikat sedang menatap sendu sambil lalu ikut membaca tulisanku lalu ikut mengaminkan pada Tuhan...

#Catatan Edelweis di sebuah Desember.
                                                                                                            Yogyakarta, 10 Desember 2016



      Ku panggil dia Nana. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki sejak merantau di kota Gudeg. Gadis bermata sayu kelahiran 1991 ini berasal dari Cirebon Jawa Barat. Gadis yang mempesona. Pesonanya bukan karena dia cantik, tapi dia yang cukup dan sangat baik pada semua orang. Senyum tulusnya, anggun prilakunya, dan perangainya yang ramah membuat setiap orang selalu jatuh hati padanya termasuk aku...
Aku mengenalnya saat acara pesantrenisasi, sebuah kegiatan akademik yang dikhususkan untuk mahasiswa baru sekitar tahun 2012. Dia si pemilik absen terakhir mahasiswa Kimia angkatan 2012, dan nomor induk (NIM)ku persis bertengger sebelum NIMnya. Maka jangan heran jika sejak semester pertama sampai akhir, bangku duduk pas ujian mesti berdekatan denganku (katanya sih, posisi duduk kita pas ujian menentukan sukses nggaknya pas ujian loh, tapi kami belum pernah bersekutu kalau ujian kok.. hahahha). Pas pesantrenisasi, ONDI, dan berbagai kegiatan lain yang mesti melibatkan suatu halaqah maka dia pasti sehalaqah denganku dan sekamar tentunya (untungnya ga pernah bosen... ).
      Perihal prilakunya yang anggun, kalem, sabar, memikat hati siapapun yang mengenalnya termasuk aku. Sedangkan aku, adalah sahabatnya yang paling menyebalkan. Seringkali aku bersikap manja, kekanakan di depannya. Tak jarang pula kadang aku menumpahkan kekesalanku pada orang lain ke dia. Jahat sekali kan aku... :'( Dia orang yang paling paham tentang segala gerak-gerikku bahkan ketika semua orang hanya melihat senyumku yang termanispun, dia yang selalu mampu menerawang suasana hatiku yang sebenarnya. Aku terkadang tak tahu diri menyita waktunya yang super sibuk (maklum, karena dia seorang abdi ndalem di pesantrennya) hanya untuk mengoceh malam-malam, bercerita apapunpadanya tanpa rasa malu, dan memang dia yang sellau menjadi tempatku mengadu selain pada Tuhan. Hilang rasa maluku bersamanya, yah kalau kau ingin tahu bagaimana aku yang sesungguhnya, mungkin dia orang yang paling tahu aku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, bahkan aib yang mungkin saja orang lain tidak pernah tahu, dia mesti tahu. Namun, itulah dia seorang teman sejati yang tidak akan pernah menjatuhkanmu apalagi membuka aibmu di belakang. Bagaimana mungkin dia akan sempat mengghibahi orang, jika yang kulihat di setiap waktu luangnya ia gunakan untuk mentakrir al-qurannya.Banyak sekali teman lelaki yang menyukainya, aku tahu itu. Tapi aku tak pernah rela dia terpikat oleh cowok-cowok yang kurasa dia dia kurang baik untuk baiknya. Maka aku tak segan-segan mengatakan ketidak setujuanku dengannya. Bukan karena iri, tapi aku tidak rela jika suatu saat dia akan dikhianati. disakiti hatinya oleh lelaki. Aku memang teman yang begitu menyebalkan, tapi percayalah jangan sampai lelaki play boy berani merayunya. Meskipun dia berstatus seorang ustadz misalnya (aku terlalu protektif yakk sama temanku sendiri...). 
      Dia seseorang yang tak pernah membuatku sakit hati, begitu baik seperti peri (alay... hahahaha). Aku bahkan pernah bilang padanya seandainya aku ini lelaki, maka akan kulamar dia sebagai istriku. Sayangnya aku dan dia sama-sama perempuan, yang cantik tentunya hahahhahaha. Bersamanya membuatku tenang dan nyaman. Rasa bahagia meletup-letup tatkala bertemu, yah meskipun kami satu kampus, satu jurusan tapi di luar kuliah sangat sedikit waktunya untuk disempatkan sekedar ngopi bareng... karena dia seorang abdi ndalem di pesantrennya. Kami sama-sama di pesantren, sama-sama sulit menemukan waktu yang pas untuk sering-sering duduk bersama seperti teman yang lain. Quality time kami benar-benar terbatas, sekalinya ketemu maka hal sekecil apapun menjadi begitu penting untuk dibicarakan. 
      Satu hal penting yang ingin kushare dan kukenang di sini, dari sekian banyak teman yang kumiliki mungkin hanya seorang Nana satu-satunya yang paling dipercaya ummi. Bahkan kalau tidak salah, beberapa kali ummi menghubunginya via telpon. Belum pernah ummi bersikap seperti ini pada temanku yang lain, mungkin dia memang benar-benar pantas untuk menjadi teman dekatku, sahabat karibku. Bodyguardku... Hahahaha.. karena kata dia, ummi pernah memintanya untuk mengawasiku, menjagaku... kan dia udah kayak bodyguardku dong.. Hahaha.. Terlepas dari itu, dia memamng memiliki hati yang cantik. Mampu memikat siapapun dengan perangainya... kelihatannya saja dia gadis yang sangat biasa, tapi begitu kau mengenalnya kau akan paham kenapa aku terlalu berlebihan menuliskan banyak hal tentang dia di sini. Dia juga seorang hafidzah... Maka siapapun yang mendapatkannya, maka dia lelaki yang beruntung. Tidak hanya mendapatkan seseorang yang cantik tapi juga shalihah dan hafidzah... dan terkadang aku iri dengan dia. Iri sekali, kenapa dia begitu nyaris sempurna di mataku. 
      Doaku dan doanya dikabulkan oleh Tuhan, kami bisa wisuda bareng tahun ini di periode yang sama. Alhamdulillah, usahamu tak sia-sia Na, kamu berhasil melewati masa-masa tersulitmu yang cukup panjang dengan hasil akhir yang mengagumkan. Aku percaya sejak dulu, bahwa kamu itu memang anak yang rajin super rajin dibandingkan denganku yang sering malas-malasan. Katamu, usaha dan kemampuan itu harus diseimbangkan. Jika dirasa kurang mampu, maka ikhtiar kita harus lebih keras lagi. 13 November yang lalu, kamu boyongan dari pesantren, jangan pernah lupakan eva yang bawel Na, jangan pernah putus ikatan tali ukhuwah yang kita bangun sejak 4 tahun yang lalu. Semoga urusanmu dilancarkan, dikabulakn segala mimpimu, dan memperoleh jodoh yang shalih Na, yang mencintaimu hingga akhirat nanti, bukan dia yang hanya sering mengobral janji apalagi merayumu dengan puisi. Do'a kita saling bertaut padaNya... karena sebuah persahabatan tak kan pernah terputus oleh waktu dan jarak yang memisahkan kita, tersebab ada do'a yang terus menerus kita rapalkan, kita sambung setiap waktu. Dialah yang akan tetap menautkan hati kita, tak peduli rentang waktu dan jarak yang begitu jauh memisahkan, tetaplah jadi sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Tetaplah jadi Nana yang cantik hatinya. Sampai jumpa di lain waktu sayang, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita kembali.. Aku akan selalu merindukanmu. 

Edelweis, Yogyakarta, 08 Desember 2016.
   “Ada kalanya nuur Ilahi itu turun kepadamu, tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ketempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia” (Tulisan Syaikh Ibnu “Athoillah dalam kitabnya, Al-Hikam).
    Seringkali dari kita merasa meraih sukses hidup ketika kita telah berhasil meraih segalanya: harta, gelar, pangkat, dan jabatan yang telah kita genggam. Mari kita kaji ulang seberapa besar sebenarnya hakikat dan nilai dari apa-apa yang telah kita raih selama ini.
     Sayangnya, orang yang merasa telah berhasil meraih segalanya yang ia inginkan di bumi ini, mudah tergelincir karena hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan takabbur, tetapi ketiadaan (nya) serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala telah berhasil memperoleh apa yang diinginkannya, dia merasa semua itu karena hasil usaha dan kerja kerasnya semata, akan tetapi ketika dia gagal mendapatkan apa yang diinginkan, dia merasa dirinya sedang sial. Bahkan tidak jarang kesialan yang menimpa itu dicarikan kambing hitamnya pada orang lain. Orang semacam itu telah lupa bahwa apa yang diinginkannya dan diusahakan oleh setiap manusia itu bergantung atas izin Allah Azza Wa Jalla. Jika kita menginginkan sesuatu hal dan benar-benar berusaha sekuat tenaga agar apa yang kita inginkan itu tercapai, tetapi Allah yang maha berkuasa tidak berkehendak dengan apa yang kita inginkan maka pasti tidak akan pernah tercapai. Karena sungguh kekuatan itu adalah pemberian dariNya. Laa Haula wa Laa Quwwata Illabillah al-Aliyyi al-Adzim.
        Seharusnya kita hanya bergaul dan bergantung dengan Allah zat yang maha menguasai alam jagat raya ini, sehingga hati kita terbebas dari kegalauan dari hal-hal yang bersifat duniawi. Allah berfirman :
لا خوف عليهم ولاهم يحزنون     
       Jika kita telah percaya akan firman Tuhan ini, niscaya tidak akan ada kecemasan sama sekali dalam hati kita menghadapi urusan apapun di dunia ini. Bahkan sebaliknya, kita akan selalu merasa nyaman, tenteram, damai karena dalam hati kita yang ada hanyalah Tuhan. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah bagaimana kita mempersibuk diri dengan Tuhan, dan urusan-urusan ukhrawi yang lebih berarti dibandingkan urusan-urusan di dunia yang hanya sementara.
      Sikap seperti inilah yang seharusnya kita latih secara terus menerus dalam mempergauli kehidupan dunia. Biar tubuh kita terlekat dengan dunia namun jangan pernah kita biarkan hati kita turut terlekat dengannya. Karena sekali hati kita terlekat oleh adanya dunia, maka niscaya adanya dunia akan membuat kita bangga, merasa terhormat sedang tiadanya akan membuat kita terluka dan kecewa.
     Betapa tidak! karena yang namanya tabi’at dunia itu silih berganti. Terkadang kita dengan mudah mendapat rejeki, tapi dilain waktu begitu susahnya kita memperoleh sesuap nasi. Terkadang pula kita dipuji, dihormat tapi pada saat yang lain, harga diri kita direndahkan, dipermalukan. Semua terjadi silih berganti. Nah, kalau kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa akrab dengan zat sang pemilik semua kejadian ini, maka yang terjadi adalah kelelahan, kebosanan dalam menjalani hidup, lain halnya jika kita selalu menghadirkan hati kita bersama Allah.
     Sesuatu yang penting yang kita perhatikan agar kita dicintai Allah adalah kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah bersabda “Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ditangan manusia niscaya manusia mencintainya”.
     Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak memiliki apa-apa yang bersifat duniawi, melainkan kita harus lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah bukan apa yang ada di tangan kita. Karena bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dia miliki tak kan membuat hatinya tenteram dan damai karena ketenteraman baginya hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.
    Rasulullah SAW juga bersabda “melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada yang ada pada Allah”.
   Sekiranya kita memiliki orang tua atau sahabat-sahabat yang memiliki kedudukan tinggi di suatu instansi tertentu, maka hendaknya kita tidak merasa tenteram dengan jaminan mereka karena semua itu tidak akan pernah hadir kepada kita kecuali Allah mengizinkannya. Semua yang ada di dunia hanyalah titipan dari Allah, maka dari itu suatu saat Allah pula yang akan mengambil apa-apa yang ia titipkan kepada hambaNya.
   Orang yang zuhud terhadap dunia tidak melihat adanya jaminan dari apa yang mereka miliki namun mereka lebih percaya dengan jaminan Allah sekalipun tidak tertulis, tetapi sungguh Dia maha tahu apa yang kita butuhkan. Jangan sekali-kali kita mengukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia yang sedang digenggamnya, apalagi kita meremehkan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika kita telah menghormati seseorang karena apa yang dia punya dan kita remehkan orang yang papa dan jelata itu artinya kita sudah mulai cinta dengan dunia. Akibatnya susah hati ini bercahaya disisi Allah. Mengapa demikian? karena hati kita telah diliputi oleh sifat takabbur dengan membeda-bedakan orang lain berdasarkan dunia yang dimilikinya.
     Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika dia dipuji, dihormati, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan disisi Allah, justru keuntungan itu dia nikmati ketika berhasil dengan ikhlas menolong, menghargai orang lain. Cukup ini saja tanpa berharap kita memperoleh sesuatu yang lebih dari orang lain. Mereka lebih menyukai apa-apa yang yang terbaik yang diberikan oleh Tuhan bukan dari apa yang didapatkan selain dariNya.
    Siapapun yang menginginkan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh Nuur Allah maka hendaknyalah ia berjuang untuk mengubah diri, sikap hidup dan menjadi pribadi yang tidak cinta akan dunia. Lebih baik lagi jika kita senantiasa berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepadaNya. Tapi ingat, segala sesuatu tergantung Allah namun tidak berarti kita hanya dapat berharap tanpa berusaha. Firman Allah “Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”( Q.S.al-Nur [24]: 35).
     Hati manusia itu bagaikan cermin yang memantulkan cahaya. Jika cermin itu bersih dari debu dan kotoran yang menghalangi maka apa yang kita lihat akan tampak jernih apa adanya. Hitam putih akan terlihat jelas dan nampak perbedaannya. Demikian juga dengan hati, kalau hati kita jernih, kita akan melihat realita itu apa adanya, sementara jika hati kita kotor maka pandangan kita dari suatu kebenaran akan terhalangi. Dan yang lebih parah, jika hati kita benar-benar tertutup dari nuur Nya. Naudzubillah. Maka dari itu mari kita bersihkan hati kita dari segala hal yang menghalangi masuknya nur ilahi dalam hati kita. Wallahu a’lamu bi al-Shawwab.

*Semacam tulisan serius, untuk pertama kalinya kuposting di sini. 
                                                                                                             Yogyakarta, 07 Desember 2016
Aku ini cukup nakal, bandel sekali pada orang tua. Sampai suatu  hari setelah pengumuman kelulusan MTs yang setara dengan SMP seorang ustadz menawariku untuk mengajukan diri sebagai siswa yang masuk ke salah satu MAN favorit di kota kelahiranku dengan jalur beasiswa. Kusampaikan amanat ustadz tersebut pada bapak bahwa aku akan mengikuti promosi beasiswa tersebut. Ternyata bapak punya keinginan lain untuk menyekolahkanku di salah satu pesantren yang cukup terkenal dan populer di kepalaku. Yeah Pesantren?? Dulu aku sempat ditawarkan untuk nyantri sejak aku lulus MI tapi bukan eva namanya kalau dia tidak bandel, aku menolaknya dengan alasan bahwa aku masih terlalu kanak-kanak untuk pergi jauh dari orang tua. Aku juga belum rela waktu bermainku di masa kecil habis gara-gara aku harus tinggal di lingkungan pesantren yang cukup jauh. Tapi seusai MTs, bapakku dengan sangat tegas menolak tawaran ustadzku tadi, karena belliau punya rencana lain untuk memondokkanku di Annuqayah.Pesantren ini merupakan pesantren utama dari seluruh keluargaku. yah, seluruh keluarga besarku menamatkan studinya di pesantren ini kecuali ummi yang memang nyalaf di Pesantren Al-Is'af. Mau tidak mau, aku harus terima kenyataan bahwa aku akan segera ganti status menjadi SANTRI. Singkat cerita, di sana aku menemukan seorang guru sufi bagiku. Beliau itu cukup kharismatik di sekolah ini, masih muda, dan cerdas tentunya. Beruntung sekali beliau itu menyukai anak-anak di kelas kami. yup, dari berbagai kelas yang ada di sana, kelas yang sering dikunjunginya tentu kelas kami. Berisi orang-orang kreatif dan penuh semangat kata beliau... satu hal yang menarik dari beliau adalah pewarisan ilmu dan amal. Kami diajarkan terapi shalawat untuk merelaksasi tubuh dan pikiran ketika jenuh. Lakukan dengan ikhlas, rutin dan kita akan merasakan dahsyatnya energi  shalawat merasuk dalam jiwa kita. Setiap kali beliau mengajar, tidak pernah lupa mengawali mata pelajaran dengan terapi shalawat yang disertai gerakan-gerakan tertentu. 
Terapi shalawat ini masih sering kulakukan, apalagi ketika pikiran mulai gaduh tak karuan, maka terapi shalawat adalah obat andalan pertama kali yang kulakukan. Saking karena aku sering melakukan terapi ini, ketika pikiran kacau maka secara otomatis, tanpa aba-aba hati dan mulut ini komat-kamit dengan sendirinya. Tidak, aku tidak sedang ingin riya' di sini. Hanya saja mau berbagi sedikit tentang khasiat shalawat yang luar biasa. Bapakku yang sederhana saja hidupnya, tak pernah lupa mengingatkanku untuk bershalawat...Bapak tahu, aku ini takut "kendaraan cepat". yup, aku merasa takut ketika dibonceng naik motor dengan kecepatan di atas 60 km/h. Maka ketika aku mulai mengantuk dibonceng bapak saat menjemputku dari pesantren, si bapak menaikkan kecepatannya sehingga dengan sendirinya kantukku hilang dan rempong komat-kamit bershalawat untuk menenangkan diriku sendiri. Sesederhana itu, bapak mengingatkanku untuk tidak lupa bershalawat. 
Menurut hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa UIN SYAHID Jakarta, membaca shalawat dapat menimbulkan kepuasan batin, perasaan senang, nyaman, sejahtera, karena memuji orang yang kita cintai, yaitu Rasulullah. Efek shalawat mempengaruhi psikologis seseorang, perasaan kita akan menjadi tenteram setelah membacanya. Kenapa? pertanyaan ini pernah muncul di benakku saat dulu bapak sering mengingatkanku untuk bershalawat kalau aku telponan malam-malam, nangis tak karuan. Ternyata jawabannya simple. Apakah kalian pernah membaca buku "the true power of water" yang di tulis oleh Masaru Emoto? Buku ini menjelaskan tentang keajaiban molekul air. Masaru Emoto, seorang peneliti Jepang mengungkap bahwa ternyata air sebagai salah satu makhluknya Allah, ternyata dapat merespon perkataan orang. Prof Masaru ini, melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan 2 jenis air. Air yang pertama, diperlakukan dengan baik. Setiap harinya didoakan, dipuji, diberi perkataa-perkataan yang baik. Sementara air yang kedua, yaitu air yang diperlakukan sebaliknya. Air yang kedua ini, dimaki-maki, diberikan omongan yang jelek. Lalu, apa yang terjadi? Ternyata setelah kedua jenis air ini diperlakukan sedemikian rupa, kemudian dianalisis dengan menggunakan mikroskop, hasilnya adalah kristal air yang pertama sangat bagus. Sedangkan air jenis kedua, kristal yang terbentuk, pecah dan sangat jelek. Berdasarkan hasil penelitian prof Masaru Emoto, dapat kita ambil kesimpulan bahwa memang benar, ketika kita sering membaca shalawat, atau alquran maka yang terjadi adalah perasaan tenang, relaksasi tubuh kita bagus, muncul kepuasan bathin. Karena menurut ilmu biokimia, tubuh manusia itu 70% terdiri dari air. Sangat wajar, jika respon tubuh dan jiwa kita sangat bagus setelah membaca shalawat. Tidak salah jika sebagai muslim, kita menerapkan terapi shalawat ini sebagai relaksasi tubuh, toh sudah terbukti secara ilmiah kan? 
Mengenai efek terapi shalawat, aku sendiri mengalami banyak khasiatnya, yang tentunya tidak harus kutuliskan panjang lebar di sini. Rasakan sendiri nikmatnya.  Wanita yang sedang menstruasi, sangat disarankan untuk melakukan terapi shalawat, selain karena sebagai pengganti ibadah dari tilawah alquran, tentunya menjadi obat penenang. Pasti paham kan, kalau wanita sedang menstruasi, bawaannya ingin marah terus, ngajak berantem, dan emosinya cenderung tak terkontrol. Tidak hanya ketika pikiran galau amburadul, tapi terapi shalawat ini biasanya kulakukan untuk memfokuskan diri, terutama ketika hampir ujian, atau sedang murajaah... maka jangan lupa untuk menyambi dengan shalawat. Bulan Desember ini, kebetulan bulan maulidur Rasul, dimana kekasih kita Nabi Muhammad, dilahirkan pada bulan Rabi'ul awal, maka demi alasan apalagi kita tidak cinta bershalawat? 

*Tulisan ini sebenarnya tulisan lawas, yang masih masuk dalam draf dan baru kulanjutin hari ini. hahahaha

                                                                                                                  Yogyakarta, 07 Desember 2016

Desember ini seharusnya menjadi Desember kita yang keeempat, tapi bukankah hujan kerinduian saja yang bisa kukenang hari ini? Kau mana peduli? Ada banyak hal kecil yang yang tidak terlupakan. Yah kau tentu tahu, perempuan adalah pengingat paling detil jejak yang pernah ia lewatkan, begitupun aku. 

Desember kali ini serupa hujan yang tak tahu diri, membasahiku seenaknya tanpa mau tahu, bahwa aku telah basah kuyup kedinginan tersebab kau dan kenanganmu menghujaniku. Bahkan, saat mataku pun terlelapdalam petang, kau masih saja menggetarkan hati yang sempat kutata dengan rapi seperti saat aku belum mengenal siapapun termasuk kamu. Tanpa sadar, adzan subuh membangunkanku dari mimpi tentangmu. Mataku membengkak dan memnerah, tersadar bahwa baru saja aku menangis karenamu. Kehilangan tak sebercanda itu, patah hati tak semenarik nyanyian para biduan, dan aku, aku mulai tahu bahwa hati yang tercecer di masa lalu tidak akan mudah tertata kembali dalam waktu yang singkat.

Selamat Desember, semoga hati ini tetap cantik dan anggun, meski berulang kali ada saja yang mematahkan. Bahkan ketika aku pernah berpikir, kau tak sekejam itu, ternyata dugaanku salah. Sayatanmu masih berbekas di sini. Tidak pernah tertutupi, justru semakin basah dan perih. Tapi, aku bukan pendendam untuk mencoba melukai manusia lain seperti halnya dirimu. Sebuah Desember selalu mengingatkanku bahwa tiada luka yang pantas dibayar dengan luka, tapi tutupilah dengan segera agar lukamu tak terinfeksi. Itu saja. 

Catatan Edelweis, 07 Desember 2016.