Hari Ketiga: Semacam Cerita Hati yang Patah

Semangat malam para tamu blog pribadiku.... Semoga kamu senantiasa semangat dan terus semangat puasa dan nulisnya.. Oke sampailah kita di hari yang paling bikin baper selama seminggu kedepan, karena saat melihat tema tantangan hari ini cukup bikin kisruh di pikiran. 

    Tentang sebuah kehilangan, seringkali membuatku gagal menuliskan atau menceritakan banyak hal tentang kehilangan. Bukan karena apa, tapi aku harus berani membongkar banyak sayatan-sayatan luka yang tergores di masa-masa lalu yang kini tengah mengalami masa penyembuhan. Selama merantau di sini, di kota ini, aku kehilangan banyak hal entah itu seorang teman baik, sahabat, orang yang diam-diam kusebut dalam doa namun tak berjodoh atau seseorang yang mewarisi darahnya di tubuhku. 

    Seseorang itu bernama Nana, aku mengenalnya sejak beralih tempat tidur dari satu pesantren ke pesantren yang lain dimana hari ini aku tinggal. Seseorang itu lebih dari sekadar teman biasa, meninggalkanku karena memang waktunya dia harus balik ke kampung halamannya. Adalah dia yang mau menerimaku sebagai teman dengan hati yang paling tulus sepanjang aku mengenal banyak orang. Adalah dia yang selalu memahamiku seperti seorang ibu menyayangi anaknya. Aku rindu, sangat merindukannya. Suatu hari nanti, aku berharap akan ada satu kesempatan dimana kami akan bertemu kembali untuk menuntaskan rindu yang selalu hadir. Semoga ukhuwah kita yang sempat terputus, akan tersambung kembali hingga akhiratNya.

    Seseorang itu bernama "Nathan" Lelaki yang diam-diam pernah mencuri senyumku berkali-kali hingga aku jatuh hati. Hampir setiap hari, bahkan terlalu sering blog ini hanya tertulis soal Nathan dan Nathan. Karena dia memang inspirasiku, sejak pertama kali aku menjatuhkan hati padanya. Kehilangannya adalah suatu kehilangan terberat sejak aku tau bagaimana rasanya patah hati dan aku menikmatinya. Patah hati yang tak menyurutkan doa namun terus menerus kurapal berharap takdir Tuhan itu bisa kunego dengan menghadirkan Nathan untuk menjadi teman hidup yang tidak tergantikan. Sayang seribu sayang, rasanya tanganku tidak akan pernah sampai merengkuh sosok seorang Nathan. Kamu tahu rasanya perempuan itu jatuh hati ? lalu patah hati dalam waktu yang bersamaan? Ah, saat itu aku benar-benar jatuh hati berkali-kali dengan sebenar-benar jatuh hati. Aku ingin jatuh hati berkali-kali pada orang dan hati yang sama. Tiada satu sujud yang terlewati dari menyebut nama seorang Nathan. Aku tak hanya sekadar merayu Tuhan, namun aku mendemonya dengan banyak doa yang tak henti aku rapal sepanjang hari, selama jantungku masih berdetak. Rindu itu sungguh ada, bergentayangan dalam setiap dingin yang berhembus di antara pekatnya malam. Rindu itu sungguh menghangatkan, tatkala aku aku jenuh dengan hari-hariku yang membosankan. Adalah Nathan, seseorang yang diam-diam aku menyukainya. Raut wajahnya yang menyejukkan sebab basahan air wudlu'nya, ucapannya yang mendamaikan, sebab aku yakin hari-harinya hanya dipenuhi soal menjaga al-quran menetap dalam hatinya, kesederhanaannya, dan tentang senyum yang kadang tanpa sengaja kucuri beberapa kali saat jarak kami mungkin hanya sekitar 100 cm di depan mata. Aku pernah punya suatu pikiran, Nathan pun merasakan hal yang sama denganku namun, itulah dia seseorang yang memiliki iman jauh lebih tinggi dari nafsunya, tidak akan berani menyatakan soal perasaan macam ini sebelum ikrar sah diucapkan. Ah, yah aku tak ingin menuliskan banyak hal tentang dia lagi malam ini di sini sebelum aku benar-benar larut dalam kenangan. 

    Seseorang yang meninggalkanku beberapa bulan terakhir adalah sesosok wanita yang berperan lebih dari seorang ibu, dialah almarhumah nenek, ibu dari ibuku. Beberapa hari lagi aku akan mudik untuk kembali bersua dengan keluargaku, namun aku bingung pada siapa aku akan pulang. Bercerita dengan seru tentang Jogja yang berhati nyaman. Aku selalu bahagia ketika liburan itu tiba, karena di rumah ada nenek yang sangat menyayangiku melebihi cucu yang lainnya. Pelukannya adalah pelukan terhangat sepanjang masa, menina bobokkan aku yang sudah dewasa ini layaknya bayi yang baru lahir. Wanita yang selalu menyiapkan buka puasaku dua hari sekali sepanjang tahun aku bersamanya. Kemarahannya adalah sesuatu yang paling kurindukan saat ini. Ramadhan tahun lalu aku masih tidur bersamanya, memijiti kakinya, mengelus-ngelus rambut putihnya, menina bobokkan sebagaimana yang beliau lakukan padaku saat masih sehat. Setiap pagi, aku begitu riang menuangkan tehnya, mengantarkan sarapannya, menemaninya sarapan sambil mengajanknya ngobrol dan ah yah aku masih selalu ingin memeluknya dan tidak ingin kulepaskan. Bahkan, saat terakhir beliau menatap dunia untuk terakhir kalinya aku tak sempat melihanya kembali untuk terakhir kali. Kehilangan seorang nenek bagiku bukan sekadar kehilangan biasa, tapi aku benar-benar kehilangan separuh kekuatan hidupku. Saat orang lain dengan entengnya memarahiku, menyalahkanku dengan seenaknya, menambah beban perasaan saat nilai raporku terjun bebas, ada nenek yang tidak pernah memarahiku. Ada seorang nenek yang menguatkanku, memelukku dengan hangat dan tak seorang pun yang punya rasa peduli sebagaimana nenek peduli padaku. Satu-satunya orang yang selalu mendengar suara kecilku, peduli dengan teriakan hati yang kadang orang lain tak pernah menghiraukan. Sejak hari itu, tenggelamlah pula suaraku bersama kepergiannya dari kehidupanku. Kehilangannya membuatku berpikiran aku tidak ingin pulang ke rumah kembali, aku tidak ingin mengalami masa-masa kecil yang sangat menyeramkan itu tanpa seorang nenekku. Seringkali aku berpikir suatu hari aku akan kehilangannya, ia akan meninggalkanku seorang diri dan aku takut membayangkannya. Keinginan terkuat untuk merantau setelah studi bukan karena aku terlalu betah di tanah orang tapi hanya karena aku kehilangan tempat pulang. Mungkin kehilangan ini terlihat berlebihan, namun percayalah seorang anak kecil selalu tahu siapa orang-orang yang benar-benar menyayanginya, dan aku telah kehilangannya.  Sudah cukup di sini aku menguras air mata ini berkali-kali. Sudah kubilang, bahwa menuliskan tentang kehilangan akan selalu menarikku pada masa-masa yang mengerikan.Terimakasih mau berkunjung di blog pribadiku ^_^

Eva Edelweis, Yogyakarta 18 Ramadhan 1438 H.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar