*Kapan kau bersinyal? aku rindu.
Apa rindu sekejam ini?
Hari-hari kulalui dengan menunggu, menunggu waktu kapan saatnya bertemu. Ada yang bilang selagi masih bisa mendoakan, pertemuan bukanlah penawar rindu. Lalu aku harus bagaimana?
Sarapan pagi menjelang berangkat kerja, satu dzikir untuk nafasku berhembus dengan namamu. Yah namamu tentu saja mengawang di kepalaku. Memenuhi rongga-rongga sudut syarafku, atau barangkali namamu sengaja kusetting di sana agar tidak tergantikan. Beranjak menuju kantin hendak makan siang, angin pun mencoel-coel pikiranku mengingatmu. Hingga senja menantiku, kau pun masih di sana bersarang di tempat yang sama, di kepalaku.
Sejujurnya aku bingung hendak menuliskan apa di sini, pikiranku kalut, gabut, karena perasaan jengah menunggumu yang tak pernah kenal waktu. Kadang, aku benar-benar menikmati suasana seperti ini. Dimana hati, pikiranku benar-benar mensyukuri sebuah perasaan rindu yang tidak tertahankan. Menangis sendirian, lalu sebentar kemudian mengecek hp berkali-kali barangkali ada pesan singkat darimu. Tapi, notif lampu-lampu menyala itu bukan darimu. Sesekali aku menari tanpa sadar dengan tuts-tuts keyboard yang sudah lama menemaniku. Menjadi sahabatku yang paling tahu, bagaimana sabarnya hati menunggumu. Anehnya, hari ini tidak menikmati suasana rindu seperti kemarin-kemarin. Kau tahu kenapa? stok sabarku mungkin sebentar lagi habis. Kapan kau akan menchargenya?semisal semacam sapaan "hai" di suatu petang, saat aku terlelap dalam lelahku. Senyum manis di suatu pagi saat mataku mulai menerima pesan singkat dengan bahagia, adalah tanda syukur paling sederhana merayakan rindu.
Kamu kan tahu, aku ini paling bisa mengendalikan hati dengan cara menyibukkan diri. Namun, lagi-lagi harus kukatakan padamu bahwa stok sabarku sedang di ujung batas. Meski berkali-kali aku mengisi waktuku dengan beragam aktivitas, tetap saja namamu menggaung di telingaku, mengurangi kadar fokus di tengah-tengah kesibukanku. Rindu kadang sejahat itu, mencuri kesadaranku tanpa kenal waktu.
Kamu tahu, kenapa aku masih bertahan dalam merindu? karena barangkali rindu itu obat untukku. Obat dari penyakit malas, obat dari rasa benci, obat dari rasa dendam, obat untuk meningkatkan stamina, obat untuk segalanya. Rindu itu soal waktu, waktu yang tertunda dari sebuah perjumpaan yang paling ditunggu. Rindu itu soal kamu. Kamu yang mengingatkan segalanya untuk berubah menjadi lebih baik. Katakanlah rindu itu tak kan berakhir, tapi jejak baikmu tak pernah lekang dalam ingatan.
Kau sejenis manusia apa? menguras tenaga hanya dengan meninggalkan namamu saja di hati? Lalu kau menitip namamu sendiri di ujung dahi untuk kulafadzkan di saat kening ini mulai bersimbah kaku di atas sejadah. Ah sudahlah, rindu itu kadang begini, membuat seseorang menulis sesuatu dengan berantakan. Tapi aku bisa apa? mau berteriak macam orang gila manggil namamu pun kau tak mungkin datang saat itu juga. mau menangis seberapa lama pun kau pun tak bakal datang menghapus air mataku detik itu juga. Aku cuma bisa menulis di sini, menulis kacau sekacau pikiranku, segalau perasaanku. Tapi lama-lama aku menikmatinya, mensyukurinya, tak lagi bosan menunggu hingga waktu memberitahuku kapan saat yang tepat merayakan rindu denganmu.
#catatan mahasiswa rantau yang lagi gabut di malam sabtu.
Eva Edelweis, Yogyakarta 3 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar