Hai kamu, apa kabarmu?
Rinduku semakin menebal, rinduku tak pernah usai. Sebagai perempuan kadang aku bingung harus bagaimana. Menangis sendiri di kamar, ah rasanya sudah rutin kulakukan sepanjang hari. Kuseduh kopi sebentar untuk sekedar merilekskan pikiranku tetap saja gabut, ku nikmati beberapa lembar bacaan tapi tetap saja pikiranku menuju satu arah, jalan menuju hatimu. Aku bukan penulis handal, bukan pula ahli penggombal tapi sungguh, rindu itu menyiksa sekali... Nafsu makanku berkurang, jatah tidurku pun semakin sedikit, tersebab jalan menuju hatimu terlalu panjang kulalui hingga aku tak peduli betapa pentingnya diriku sendiri untukku.
Kau sempat bilang kan, aku ini egois hanya memikirkan diriku sendiri, selalu saja begitu. Tapi kau salah, sungguh salah... Karena ternyata aku sering lupa bahwa aku ini sungguh ada. Kadang aku merasa diriku entah dimana, Sukma, jiwa, dan badanku seolah tidak bisa bekerja sama. Apalagi jika ditambah rindu berkelanjutan. Kamu tak pernah tahu, bagaimana khidmatnya seseorang yang mengalami rindu stadium tinggi. Kadar rinduku sudah dibatas wajar. Tapi aku bisa apa? Yang kulakukan tetap saja hanya melangitkan kesabaranku menunggu. Membisikkan satu nama yang tak pernah berubah saat pertama kali aku memutuskan request ditakdirkan hanya denganmu saja bukan orang lain. Aku bisa apa selain terus mendemo Tuhan dengan segala ketidakmungkinan ? Aku bisa apa selain tak pernah bosan membisikkan namamu di sela-sela tetesan air hujan yang berjatuhan? Derasnya bisikanku melebihi derasnya hujan yang sering mengguyur kotaku. Lirih doa sepanjang sujud hanya sebatas peredam rindu berkepanjangan. Kadang pula untuk menuntaskan rindu, aku cukup memandangimu dari jauh. Melihatmu tersenyum begitu, aku pun senang artinya kau sebahagia yang kuinginkan. Setidaknya meski mungkin kau sedang dirundung masalah, kau tampak lebih sejuk dilihat dalam pose smiling. Tak hanya itu yang aku lakukan saat rinduku bercucuran, tapi tulisan ini pun adalah sebuah saksi paling nyata bahwa rinduku benar-benar tidak ketulungan dan sedang kutumpahkan di sini. Biarlah meski rindu tak pernah terlunasi, tak tersampaikan secara sempurna hanya karena kata-kata, setidaknya aku tidak dibuat gila tersebab merinduimu setiap saat.
Catatan Eva Edelweis, Yogyakarta 22 Februari 2017.
0 komentar:
Posting Komentar