Selamat Hari Raya Idul Adha, Pak: sebuah catatan harian

Selamat hari raya Idul Adha 1438 H :")
Sebelum aku menulis, aku akan menyatakan diri bahwa tulisan-tulisan di sini merupakan tulisan fiktif yang terinspirasi dari orang lain dan sedikit pengalaman pribadi. Namun kali ini aku benar-benar ingin menulis catatan yang kualami saat ini. 

    Tak ingin kuhitung hari, berapa lama aku merantau jauh dari orang tua. Rindu? tentu saja iya. Sebagaimana malam ini. Seharian ini aku tergolek lemas di dalam kepungan selimut seorang diri. Bukan karena aku tak punya teman untuk meminta tolong membawakanku obat, tapi aku ingin menikmati sakit ini sendiri dengan sebenar-benarnya sakit yang beberapa kali menyapaku. Sebagaimana perantau, aku selalu saja menghitung dengan teliti kapan libur panjang akan tiba. Bersemangat membayangkan jikalau aku pulang aku akan bertemu dengan dua gadis imut dan sholehah menunggu kedatanganku, tidak.. mereka menunggu oleh-oleh yang kubawa. Tapi apa pun alasannya, aku selalu merasa bahagia dan dihargai oleh mereka. 

    Liburan idul adha kali ini berbeda dengan libur hari raya tahun-tahun sebelumnya. Karena selain statusku sudah bukan mahasiswa, aku tiba-tiba kangen untuk merasakan hari raya kurban di rumah setelah bertahun-tahun tidak pulang saat hari raya. Kebetulan juga liburan kali ini mepet dengan libur kantor, jadilah aku akan menikmati long weekend yang sejak sebulan yang lalu kurencanakan untuk pulang ke kampung halaman. Tidak perlu tiket, karena tujuan menuju ke rumah hanya ada bus kota yang selalu ada sepanjang waktu selama kiamat belum tiba. 

    Rencana pun sudah matang, aku akan pulang. Namun, setelah iseng-iseng kubuka chat grup line yang sudah ribuan tak terbaca, ada seseorang yang mention aku di sana memberitahukan bahwa beberapa minggu kedepan akan ada ujian Taekwondo, yang perlu beberapa persiapan dari sekarang. Mulai mempersiapkan biaya adiministrasinya, latihan yang rutin dan beberapa persiapan lainnya. Kebetulan saja sih, lagi bokek.. ahahha emang kapan punya banyak duit Va? Tapi keinginan pulang sudah bulat, sebulat tahu yang digoreng dadakan. Beberapa jam sebelum pulang, tiba-tiba ada telpon dari nomor bapak namun ternyata yang bicara  ibuk.. Kabar sangat mengejutkan untukku kesekian kalinya, bahwa bapak sedang mengalami kecelakaan yang cukup serius... Air mata ini seolah sudah kering, membeku, pikiran pun mengabut... antara ingin marah dan menangis. Mungkin mereka takut aku shock mendengar keadaan bapak yang tidak baik-baik saja. Di saat keadaan bapak yang seperti itu, entah dengan alasan apa lagi ibuk tidak mengijinkanku pulang ke rumah. Bahkan, dari suara ibuk terdengar permohonan untuk benar-benar tidak pulang saja. Padahal, tentu saja hasrat ingin segera pulang sudah bertambah puluhan kali lipat dari keinginan sebelumnya. Jika beberapa hari yang lalu aku pulang sudah membayangkan akan berkumpul bersama keluarga besarku, maka saat ini yang kupikirkan adalah menjaga bapak hingga sembuh. 

    Takbir berkumandang dari seluruh penjuru arah, membuatku semakin terlihat cengeng menangis sangat pingin pulang. Rindu sekali.... namun apalah daya aku akan tetap di sini meringkuk sendiri di bawah selimut sembari mendoakan semoga Tuhan selalu mengasihi bapak, melindungi bapak, menjaga bapak... sebagaimana bapak memperlakukanku sebagai putri kecilnya yang dulu. Kali ini aku benar-benar berkurban, kurban perasaan kangen ingin pulang, pijitin kaki bapak, bikinin kopi, dan menjadi teman bicara. Selamat hari raya, maaf pak, eva belum bisa pulang liburan ini. Ada dua gadis kecilmu di sana yang juga tak henti mendoakan keselamatanmu pak sebagaimana aku di sini. Peluk jauh dari tanah rantau ^_^

Catatan Eva Edelweis, Yogyakarta 10 Dzulhijjah 1438 H.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar