Apa kabar cinta? Masihkah kau di sana?
Beberapa hari terakhir aku hanya bisa mengingat apapun yang berhubungan denganmu. Lantas, apa hanya aku yang menolak lupa? Cinta, kadang aku bingung menghadapimu. Aku bingung apakah kau benar-benar masih di sana? Atau kau semakin samar dari pandanganku. Cinta, barangkali aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk menuduhmu yang memulai duluan atau aku yang duluan memberikan sebuah pengharapan. Tapi yang pasti, jangan jadi pengecut untuk menetap di hati seseorang. Kalau kau ragu, setidaknya kau berpikir ke masa sebelum kita sama-sama tidak saling mengenal. Kau pernah bilang, meraih hatiku kau butuh waktu dan usaha yang tak sebentar. Lalu, apakah ketika kau telah berhasil menggenggamnya lantas kau pergi begitu saja? Setidaknya kau harus pamitan denganku cinta. Kau harus beri alasan kenapa beberapa akhir ini aku merasakan sepi yang terulang kesekian kalinya. Tidak, aku tidak memaksamu untuk selalu ada. Tapi setidaknya telepati kita tak pernah putus meski sejauh apapun jarak yang memisahkan. Riuh angin di luar membuatku ketakutan. Pada suatu hari, angin akan menyampaikan ketidakmungkinan yang kusemogakan, ditolak Tuhan.
Hai kamu, apa kabarmu?
Rinduku semakin menebal, rinduku tak pernah usai. Sebagai perempuan kadang aku bingung harus bagaimana. Menangis sendiri di kamar, ah rasanya sudah rutin kulakukan sepanjang hari. Kuseduh kopi sebentar untuk sekedar merilekskan pikiranku tetap saja gabut, ku nikmati beberapa lembar bacaan tapi tetap saja pikiranku menuju satu arah, jalan menuju hatimu. Aku bukan penulis handal, bukan pula ahli penggombal tapi sungguh, rindu itu menyiksa sekali... Nafsu makanku berkurang, jatah tidurku pun semakin sedikit, tersebab jalan menuju hatimu terlalu panjang kulalui hingga aku tak peduli betapa pentingnya diriku sendiri untukku.
Kau sempat bilang kan, aku ini egois hanya memikirkan diriku sendiri, selalu saja begitu. Tapi kau salah, sungguh salah... Karena ternyata aku sering lupa bahwa aku ini sungguh ada. Kadang aku merasa diriku entah dimana, Sukma, jiwa, dan  badanku seolah tidak bisa bekerja sama. Apalagi jika ditambah rindu berkelanjutan. Kamu tak pernah tahu, bagaimana khidmatnya seseorang yang mengalami rindu stadium tinggi. Kadar rinduku sudah dibatas wajar. Tapi aku bisa apa? Yang kulakukan tetap saja hanya melangitkan kesabaranku menunggu. Membisikkan satu nama yang tak pernah berubah saat pertama kali aku memutuskan request ditakdirkan hanya denganmu saja bukan orang lain. Aku bisa apa selain terus mendemo Tuhan dengan segala ketidakmungkinan ? Aku bisa apa selain tak pernah bosan membisikkan namamu di sela-sela tetesan air hujan yang berjatuhan? Derasnya bisikanku melebihi derasnya hujan yang sering mengguyur kotaku. Lirih doa sepanjang sujud hanya sebatas peredam rindu berkepanjangan. Kadang pula untuk menuntaskan rindu, aku cukup memandangimu dari jauh. Melihatmu tersenyum begitu, aku pun senang artinya kau sebahagia yang kuinginkan. Setidaknya meski mungkin kau sedang dirundung masalah, kau tampak lebih sejuk dilihat dalam pose smiling. Tak hanya itu yang aku lakukan saat rinduku bercucuran, tapi tulisan ini pun adalah sebuah saksi paling nyata bahwa rinduku benar-benar tidak ketulungan dan sedang kutumpahkan di sini. Biarlah meski rindu tak pernah terlunasi, tak tersampaikan secara sempurna hanya karena kata-kata, setidaknya aku tidak dibuat gila tersebab merinduimu setiap saat.

Catatan Eva Edelweis, Yogyakarta 22 Februari 2017.
Bagaimana cara memberitahumu soal rindu? Bahkan meski setiap kali angin berhembus membawa salamku, tak pernah kau hiraukan. Apa cara yang tepat untuk memberitahumu tentang gemuruh di dada seorang manusia sepertiku? Mungkin aku memilih menyerah untuk menggapaimu. Biarlah aku saja yang seperti ini, mengusap pilu air mata yang bermuara padamu. Terlepas kau pura-pura tidak tahu atau memang tidak pernah tahu, aku benar-benar menyimpannya untukmu. Sepotong rindu yang tak lekang sebab waktu. Siapa tahu esok hari, bilik hatimu masih menyisakan ruang kosong untukku.

Catatan Eva Edelweis, Yogyakarta 19 Februari 2017.
"Ada saatnya kamu tidak ingin bicara apa pun dengan siapa pun. Kamu hanya ingin menghabiskan waktu dengan bekerja atau diam beberapa lama" Boy Candra. 

    Hari libur kali ini sungguh berbeda dengan hari libur biasanya. Setiap kali libur khususnya hari minggu, biasanya kuhabiskan waktu untuk membaca buku-buku yang hanya tergeletak saja di atas kasur setelah sekian lama menina bobokkan aku saat insomnia menyerang. Kadang-kadang juga hanya kuhabiskan waktu untuk membersihkan kamar, menyuci pakaian, menyetrika dan yah sekedar bersih-bersih. Kalau nggak, mager di kamar sampai sore. Hahahaha. 

    Liburan kali ini aku gowes. Yes, gowes. Perasaan senang tak terkira saat gowes itu tak bisa kujelaskan, seperti melepas rindu dengan kekasih. Kok lebay yah? hahahha. Karena terhitung kira-kira sudah 2 tahun lamanya aku tidak melakukan hobby yang satu ini. Bukan karena malas atau apa, tapi ada kenangan buruk beberapa tahun yang lalu. Setelah sekian lama ga gowes, akhirnya bisa gowes juga hari ini. Mengelilingi jalanan kampus yang sepi... Rasanya malam ini kakiku mulai terasa mau copot gara-gara jarang berolahraga, berasa mau ambruk -_-

    Hal yang berbeda dari liburan kali inipun tak hanya cukup gowes saja, tapi aku kembali memasak. Sempat dulu selama beberapa semester, aku mencoba untuk benar-benar belajar mandiri, mulai dari masak sendiri, nyuci tanpa laundry... Barangkali ini sepele, tapi ternyata tidak. Berbagai kemudahan yang ada justru membuat seseorang menjadi pemalas. Mahasiswa sekarang cenderung memilih untuk membeli makanan di tempat makan terdekat agar lebih praktis dan tidak ribet, capek-capek masak sendiri. Sekedar nyuci pakaian, mereka tinggal pergi ke laundry dan yup semuanya beres. Tapi bagi seorang anak rantau seperti aku, kiranya kurang mantep jika merantaunya setengah-setengah. Maksudnya gimana? yah, sekalian jauh dari keluarga, cobalah untuk benar-benar belajar mandiri mulai dari hal sederhana, sesederhana memasak sendiri, sesederhana nyuci sendiri. Kalau kata dosenku sih, begini " kalau mau sukses, nyuci tanpa laundry" Aku aminkan sajalah lah yah perkataan dosenku ini. Jadi sebenarnya bukan terletak pada masak sendirinya, nyuci sendirinya, tapi bagaimana kita belajar mandiri sejak masih remaja agar besok tidak kaget jika sudah berkeluarga. Setelah nelpon ummi, tiba-tiba terbersit ngikuti omongan ummi yang menyuruhku kembali masak seperti dulu. Meskipun pernah gagal walau hanya bikin sambal tomat. Hahahha. Yes, aku dulu tak hanya suka bereksperimen di lab saja, tapi juga di dapur. Hasilnya gimana? Lumayan lah, untuk makanan-makanan sederhana yang tidak terlalu butuh banyak bahan. hihiihi karena aslinya, eva lebih suka bikin kue-kue kering atau cemilan daripada masak makanan berat. 

    Sebenarnya hari ini ada acara masak-masak satu angkatan di asrama, tapi aku lebih memilih istirahat setelah beberapa saat rasanya badanku mau ambruk setelah gowes dan menyantap hasil masak hari ini. Bukan bermaksud tidak ingin bicara, atau apapun lah dengan kalian (keluarga cemara 2012 putri) tapi aku cuma sedang melakukan sebuah hibernasi yang sudah lama tak pernah kulakukan. Aku cuma ingin menepi sejenak dari keramaian, kapan lagi aku menikmati sepi seperti hari ini? rasanya aku sudah lama sekali tak menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal semacam ini, meski tadi pas masak ada yang gosong -_- tapi sungguh aku benar-benar menikmati lelah di hari libur kali ini. ^_^

*Hanya sebuah catatan tentang kegiatan di hari libur. Tidak ada yang istimewa, kecuali perasaan syukur bahagia meski menikmati hari libur tanpa siapa pun.

Eva Edelweis, Yogyakarta 5 Januari 2017.


*Kapan kau bersinyal? aku rindu.  



Apa rindu sekejam ini?
       Hari-hari kulalui dengan menunggu, menunggu waktu kapan saatnya bertemu. Ada yang bilang selagi masih bisa mendoakan, pertemuan bukanlah penawar rindu. Lalu aku harus bagaimana?
Sarapan pagi menjelang berangkat kerja, satu dzikir untuk nafasku berhembus dengan namamu. Yah namamu tentu saja mengawang di kepalaku. Memenuhi rongga-rongga sudut syarafku, atau barangkali namamu sengaja kusetting di sana agar tidak tergantikan. Beranjak menuju kantin hendak makan siang, angin pun  mencoel-coel pikiranku mengingatmu. Hingga senja menantiku, kau pun masih di sana bersarang di tempat yang sama, di kepalaku.

        Sejujurnya aku bingung hendak menuliskan apa di sini, pikiranku kalut, gabut, karena perasaan jengah menunggumu yang tak pernah kenal waktu. Kadang, aku benar-benar menikmati suasana seperti ini. Dimana hati, pikiranku benar-benar mensyukuri sebuah perasaan rindu yang tidak tertahankan. Menangis sendirian, lalu sebentar kemudian mengecek hp berkali-kali barangkali ada pesan singkat darimu. Tapi, notif lampu-lampu menyala itu bukan darimu. Sesekali aku menari tanpa sadar dengan tuts-tuts keyboard yang sudah lama menemaniku. Menjadi sahabatku yang paling tahu, bagaimana sabarnya hati menunggumu. Anehnya, hari ini tidak menikmati suasana rindu seperti kemarin-kemarin. Kau tahu kenapa? stok sabarku mungkin sebentar lagi habis. Kapan kau akan menchargenya?semisal  semacam sapaan "hai" di suatu petang, saat aku terlelap dalam lelahku. Senyum manis di suatu pagi saat mataku mulai menerima pesan singkat dengan bahagia, adalah tanda syukur paling sederhana merayakan rindu.

        Kamu kan tahu, aku ini paling bisa mengendalikan hati dengan cara menyibukkan diri. Namun, lagi-lagi harus kukatakan padamu bahwa stok sabarku sedang di ujung batas. Meski berkali-kali aku mengisi waktuku dengan beragam aktivitas, tetap saja namamu menggaung di telingaku, mengurangi kadar fokus di tengah-tengah kesibukanku. Rindu kadang sejahat itu, mencuri kesadaranku tanpa kenal waktu.

        Kamu tahu, kenapa aku masih bertahan dalam merindu? karena barangkali rindu itu obat untukku. Obat dari penyakit malas, obat dari rasa benci, obat dari rasa dendam, obat untuk meningkatkan stamina, obat untuk segalanya. Rindu itu soal waktu, waktu yang tertunda dari sebuah perjumpaan yang paling ditunggu. Rindu itu soal kamu. Kamu yang mengingatkan segalanya untuk berubah menjadi lebih baik. Katakanlah rindu itu tak kan berakhir, tapi jejak baikmu tak pernah lekang dalam ingatan.

         Kau sejenis manusia apa? menguras tenaga hanya dengan meninggalkan namamu saja di hati? Lalu kau menitip namamu sendiri di ujung dahi untuk kulafadzkan di saat kening ini mulai bersimbah kaku di atas sejadah. Ah sudahlah, rindu itu kadang begini, membuat seseorang menulis sesuatu dengan berantakan. Tapi aku bisa apa? mau berteriak macam orang gila manggil namamu pun kau tak mungkin datang saat itu juga. mau menangis seberapa lama pun kau pun tak bakal datang menghapus air mataku detik itu juga. Aku cuma bisa menulis di sini, menulis kacau sekacau pikiranku, segalau perasaanku. Tapi lama-lama aku menikmatinya, mensyukurinya, tak lagi bosan menunggu hingga waktu memberitahuku kapan saat yang tepat merayakan rindu denganmu. 

#catatan mahasiswa rantau yang lagi gabut di malam sabtu.

Eva Edelweis, Yogyakarta 3 Januari 2017