Seseorang pernah bertanya, kenapa aku masih aktif nulis di blog pribadi? Bukankah itu membosankan, katanya.. Lalu kujawab dengan satu senyuman termanis yang pernah kupunya.
Kenapa aku menulis, karena di sinilah aku menemukan diriku. Ketika banyak sekali yang terpendam dalam pikiran tapi aku tak mampu mengatakannya, setidaknya aku masih bisa jujur ketika menulis. Lalu, apakah semua yang kau tulis itu adalah semua yang kamu alami? tanyanya lagi yang terkesan ingin tahu. Masih kuberikan senyumku di hadapanmu. Tidak, tidak semua yang aku tulis adalah sesuatu yang kualami. Kau tahu, tidak semenyek itu hidupku La.... Aku suka mengkhayalkan sesuatu dan kutulis di sini. Aku juga sering menjadi pendengar dari kawanku yang mengalami patah hati, lalu entah bagaimana hatinya tergerak menangis di pundakku.. Aku pikir diriku punya daya tarik yang luar biasa melalui pundak yang sudah keberapa kalinya selalu ada orang yang bersandar di sana dengan sesenggukan dan menceritakan kesedihannya. Aku memposisikan diri mereka, dengan tanpa sadar bahkan aku merasa lebih sedih dari mereka.

Aku menulis untuk diriku sendiri. Aku menulis untuk mentransfer sebagian depresi yang menghuni dalam kepalaku menjadi sebuah tulisan yang bisa kubaca ulang 30 tahun mendatang. Aku ingin menuliskan semua perasaanku di sini, tapi ternyata tetap saja tidak bisa. Meskipun tadi kukatakan bahwa aku bisa jujur ketika menulis, ternyata tak semudah itu.. Pasti ada sedikit perasaan was was dalam hati takut ada seseorang yang segitu keponya denganku sampai bongkar-bongkar alamat blogku ini hahahaha. Kau tahu, setiap kali aku ngepost tulisan yang berbau hal menyedihkan sering ada pesan masuk di hp menanyakan kabarku dan parahnya ada yang langsung ngejudge aku segalau itu....

Aku memang mengurangi keaktifan di media sosial, tapi aku tetap akan menulis selama aku punya waktu di sisa-sisa hidupku. Aku akan menulis sampai usiaku renta dan sudah tidak mampu lagi menulis.. Kamu tahu kenapa? Bagiku menulis itu semacam terapi diri bagaimana mengelola emosi yang selama ini aku pertahankan tetap stabil apa pun yang terjadi.

Aku juga tidak pernah menyangka, blog yang isinya begini riweuh pernah membuatku diterima di beberapa lembaga yang bergerak di bidang copy writing. Aku juga tidak tahu apa yang bikin HRD tertarik dengan port folio yang kubuat. Sayangnya takdir berkata lain sampai akhirnya aku gagal masuk di antara beberapa lembaga tersebut. Awalnya, cukup bikin aku patah hati dan mogok menulis. Tapi dasar kenyataannya aku ini memang harus menulis, karena kalau tidak, bisa membahayakan kestabilan emosiku sendiri hahahha alay... yeah, aku sempat mogok berbulan-bulan tidak lagi menulis di blog ini sebagai wujud marah sekaligus frustasi.. Alhamdulillah, waktu mengajariku banyak hal tentang bagaimana caranya ikhlas dengan apa yang Tuhan skenariokan. Aku balik lagi menulis hal tak penting di sini..semoga orang yang sempat kepo dengan blogku ini tidak mendadak pingsan baca tulisan receh beginian 

Eva Edelweis, Yogyakarta 27 April 2018
   Ramadhan akan datang sebentar lagi, tapi pikiran masih sama kacaunya. Aku menghilang dari media sosial untuk waktu yang cukup lama. Aku juga bukan orang yang terlalu peduli soal status seseorang yang sering booming di media sosial. Pencitraan, membuatku muak terlalu sering melihat dan membaca kepalsuan dibalik status facebook, caption instagram yang kadang kali ga nyambung sama fotonya. Aku muak dengan semua kepalsuan itu..... Lalu aku ingin curhat di sini, yah karena orang-orang kalau mau kepo jarang yang sampe buka alamat blog pribadinya. 

   Aku mulai mengenali diriku sendiri yang ternyata kesepian, sangat parah. Aku tidak punya teman bicara yang asyik buat kucurhati, aku terlanjur menutup diri dari orang lain supaya mereka tidak tahu tentang aku yang mereka kenal cerewet, periang, energik, dan kadang menyebalkan ini ternyata tidak lebih dari seorang perempuan yang rapuh, introvert dan sangat menyedihkan. 

   Nyaris 6 tahun aku hidup jauh dari keluarga. Bahkan, aku tak hanya jauh secara fisik saja tapi juga soal perasaan. Yah, aku jauh dari keluargaku. Aku sebenarnya tidak tahu apakah ada yang peduli denganku? Hahahaha mustahil. Tidak ada yang pernah bertanya "Va, apakah kamu baik-baik saja?" yah sekedar pertanyaan semacam itu tak pernah ada dalam hidupku. Aku sering menghabiskan waktu dengan diriku sendiri, berbicara dengan diriku sendiri di sepanjang jalan. Jangan heran kalau kamu sering melihatku berjalan di trotoar sendirian macam anak hilang. Aku menolak untuk diantar pulang, aku menolak tawaran teman yang tidak sengaja lewat dan ia berbaik hati ingin memboncengku misal... yah betul sekali, aku senang berbicara dengan diriku sendiri, mencoba self talk saat pikiranku macam orang yang sekarat dalam hidup tapi tidak pernah ada yang tahu soal itu. 

   Aku menikmati banyak hal satu tahun terakhir di tempat kerjaku. Aku berteman dengan mereka cukup baik, bahkan kadang aku geli sendiri saat aku jatuh sakit dan ijin tidak masuk lab, seringkali ada pesan masuk "Jangan lama-lama sakitnya, aku rindu". Hahahahahha aku geli, kenapa ada orang yang rindu denganku? tidak jarang aku nangis baca pesan singkat yang sejenis berasal dari teman kampus atau rekan kerja. Itu artinya, mereka menganggapku ada padahal selama ini aku merasa kosong, aku merasa bukan pribadi yang menarik, dan keberadaanku tidak terlalu menguntungkan bagi orang lain. 

   Satu kenyataan pahit memang jika kamu punya keluarga, teman, kekasih tapi dirimu sendiri merasa tak ada yang peduli. Lalu apa yang membuat seseorang macam aku kuat tahan dalam keadaan macam itu? aku, kamu, kalian semua punya Tuhan. Ya, satu-satunya yang membuatku tetap memiliki harapan hidup yang lebih baik meskji aku kehilangan diriku sendiri, kehilangan mimpi, kehilangan banyak hal yang membuatku serasa jatuh tertimpa tangga pula, itu hanya Tuhan. Aku merasa cukup dan lebih tenteram karena aku masih punya sisa keyakinan tentang Tuhan. Percayalah, ini bukan hanya soal retorika khayalan atau ceramah yang membosankan hanya saja aku benar-benar merasakan bagaimana Tuhan memelukku yang kesepian. 

   Aku pikir aku sakit, yah sakit cukup lama dan aku tidak sedang butuh siapa-siapa untuk menyembuhkan sakitku kecuali sebuah harapan kecil yang masih tumbuh dalam hati tentang Tuhan yang masih baik hati dengan makhluk nakal macam aku. Haaaaaah bahkan ketika aku ingin nulis ini saja perlu mikir ribuan kali, apakah dengan menulis begini sedikit perasaanku tak sebeku kemarin? 
Well, aku cukupkan saja tulisan yang tak penting ini. 

Tertulis di Laboratorium Fisika Dasar UII Yogyakarta

Eva Edelweis, Yogyakarta 24 April 2018

    Manusia robot aku analogikan orang yang hidupnya diatur orang lain. Kau percaya nggak, hari gini ada manusia macam itu? Aku sih percaya. Soal kamu ga percaya, aku ga peduli. Dia si manusia robot, hidup seperti manusia biasanya. Makan dan minum, tidur dan terbangun, belajar dan bekerja, dan masih banyak hal serupa jenis manusia biasa yang ia kerjakan. Termasuk mencintai orang lain misal.....

Gambar terkait
                                           Sumber: wordsonimages.com

    Kau tahu apa bedanya manusia biasa dengan manusia robot? yah, kemerdekaannya. Indonesia telah merdeka sejak 73 tahun yang lalu. Tapi manusia robot belum merasakan merdeka dengan hidupnya. Ketika seseorang merasa apa pun yang dia lakukan dikendalikan oleh manusia lain, maka di situlah ia berstatus sebagai manusia robot. Walau pun ada pernyataan bahwa perasaan, jiwa, hati seseorang tidak bisa dikendalikan oleh orang lain hanya diri kita sendiri yang mampu mengendalikannya sebenarnya tidak berlaku untuk manusia robot. Sederhananya begini, seperti cerita cinderella yang jatuh hati dengan anak raja. Mustahil bagi keduanya di alam nyata. Setidaknya, versi kehidupan manusia  robot. Anak raja harus menikah dengan anak raja. Begitu pun seorang putri cantik tidak boleh jatuh cinta pada pelayan rumahnya. Apakah kau mengerti yang aku maksud? ah aku sulit menggambarkannya. Semoga kamu paham yang aku maksud. 

    Ada banyak alasan, kenapa hidupnya seperti itu, semacam ada belenggu yang tidak bisa ia patahkan kecuali ada seseorang yang dengan sepenuh hati membawanya pergi agar belenggu itu hilang dengan sendirinya. Sebab, itu takdir dia sejak lahir. Bahkan ketika tadi aku mempersoalkan urusan perasaan, jatuh cinta itu kan soal hati. Kita tidak bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa. Pada kondisi tertentu, belenggu itu semacam pengendali hidup agar tetap berada di jalan yang seharusnya, tapi urusan perasaan tidak bisa dipaksakan. Belenggu yang sebenarnya hanya ada dalam perasaan si manusia robot tapi orang lain tetap melihatnya seperti manusia biasa yang biasanya menyenangkan. 

    Kamu ingat dongeng Rapunzel yang disihir ibunya yang jahat dan membuatnya tertidur cukup lama? Dia hanya akan terbangun ketika ada seorang pangeran yang mencintainya dan menciumnya. Aku percaya dengan dongeng itu. Sebagaimana manusia robot, yang hanya akan menjadi dirinya sendiri, menemukan dirinya dan belenggu hidupnya akan hancur hanya ketika ada seseorang yang mencintainya setulus hati lalu membawanya pergi jiwa raganya ke tempat lain. Seseorang yang spesial, yang Tuhan takdirkan untuknya. Tapi aku juga tidak tahu, apakah beberapa jenis manusia robot macam ini akan ditakdirkan bertemu dan hidup dengan seseorang yang spesial macam itu? Spesial karena seperti dongeng Rapunzel, pangeran yang menciumnya tidak sembarang lelaki. Ia memang diutus Tuhan untuk membangunkan Rapunzel dari tidur panjangnya dan bertugas untuk membahagiakannya. 


    Ada juga seseorang yang mungkin takdirnya tidak akan berubah, tetap jadi manusia robot sepanjang hidupnya jika ia gagal menemukan seseorang yang tadi aku sebut spesial. Tapi menurutku, entah kapan suatu hari belenggu hidupnya akan hilang tanpa disadari walau pun tidak menemukan orang yang spesial. Yah, akan hilang hanya ketika dia pasrah segenap hati tentang seluruh hidupnya pada Tuhan yang Maha segalanya. Menerima takdirnya sebagai manusia robot sepanjang hidupnya. Yakin, bahwa apa pun yang terjadi itu memang skenario terbaik dari Tuhan. Lantas ia hanya mensyukuri dan menikmati hidupnya hari demi hari dengan hati yang gembira dan lapang dada. 


*Tertulis di Laboratorium Fisika Universitas Islam Indonesia

Eva Edelweis, Yogyakarta  5 April 2018


Selamat malam para kawan blogger.... lama banget rasanya tak menengok rumah blog satu ini. Ada banyak kesedihan, kebahagiaan terlupakan sebab kesibukan. Mungkin, aku sudah menemukan cara yang tepat mengatasi sedih berlebihan dengan cara menyibukkan diri tanpa lagi menuangkannya di sini. Tapi jangan khawatir, aku menulis banyak hal di sini bukan sebab aku terlalu sedih, namun ingin jadi teman tumbuh bagi kalian yang mungkin mengalami hal serupa dengan tulisan-tulisan di sini.  Yah walau pun semua tak tersampaikan dengan sempurna, tapi aku mencoba menyentuh setiap perasaan kalian yang sedang dilanda galau dan patah hati dengan cara yang sederhana, menuliskan banyak hal tentang isi hati perempuan, dan laki-laki yang kadang tak peka dengan keadaan. Cukup sudah aku basa-basi di sini... hahahahha aku hanya ingin berbagi satu hal pada kalian, yang mungkin berada di titik terakhir masa kuliah. 


     Aku bersyukur bisa melanjutkan studi di bidang yang kuminati, meski kampusku di luar negri (Swasta, maksud guee). Tidak masalah mau kuliah di mana pun itu tak terlalu berpengaruh pada kesuksesanmu di masa depan. Hal terpenting adalah ketekunanmu untuk belajar dan tidak pantang menyerah. Kamu menjadi berbeda bukan karena kampusmu yang terkenal, tapi sebab dirimu sendiri yang menjalani proses belajar di sana. Kamu mau menjadi apa, siapa, semuanya ada dalam genggamanmu, keputusanmu memilih yang tepat. Hal terpenting lagi yang tidak boleh kau lupakan, bahwa di mana pun kamu bisa belajar, tetap haus ilmu dimana pun dan kapan pun. 

     Saat aku kuliah, aku memilih untuk fokus kuliah tidak dengan organisasi-organisasi kampus yang butuh waktu cukup ekstra. Sebab, tanpa organisasi-organisasi itu pun rasanya 24 jam itu begitu singkat, hahahahha. Hanya organisasi dan kegiatan tertentu yang aktif kuikuti, bukan karena malas sebab aku tahu diri bagaimana aku kurang bisa memanage waktu dengan baik jika aktif di semua hal. Namun, aku tetap menikmati proses belajarku tanpa harus menyesali kenapa dulu tidak jadi aktifis kampus. 

   Beranjak di tahun kedua menuju tahun ketiga, aku merasakan masa belajar yang sangat menjenuhkan, bahkan  aku meminta orang tuaku untuk pindah jurusan saja pikirku waktu itu. Bapak dengan sangat tegas mengatakan "nak, nikmatilah masa belajarmu dengan penuh kenikmatan. Masa itu tidak akan terulang lagi, kalau kamu menyerah di sini maka penyesalan yang akan kamu dapatkan di waktu yang akan datang. Bapak membayangkan berada di posisimu, namun ingatlah pada komitmen bahwa setiap pilihan yang kamu pilih semua memiliki konsekuensi, begitu pula saat kamu dulu menyatakan keinginan kuat untuk kuliah seperti yang kamu inginkan  lalu kuijinkan kamu jauh dari jangkauan bapak ibumu, tapi bapak percaya kamu pun memiliki keinginan kuat untuk mencapai impianmu dan kamu akan berkomitmen menyelesaikan apa yang sudah kau mulai nak"....  sampai di situ saja, aku menangis malu di balik telpon. Aku benar-benar menangis sebab kalah dengan diriku sendiri. Aku berada di titik terendah, banyak hal yang kualami saat itu hingga tanpa sadar aku nyaris kehilangan kendali untuk tetap stay strong, percaya bahwa Allah mempermudah jalan hidupku. 

   Berada di tahun terakhir perkuliahan, aku melirik sekelilingku. Bukan hanya melirik, bahkan menelisik jauh ke depan apa yang kemungkinan terjadi di sana. Aku melirik teman yang berhasil lulus kuliah super cepat. Aku pun melirik teman yang beberapa kali sekelas denganku namun nyatanya dia angkatan 2 tahun di atasku. Aku melirik teman yang kuliah nyambi kerja tapi dia tetap berada di kalangan mahasiswa berprestasi, aku pun melirik teman yang kerjaannya nangkring sana sini ikut arus lingkungan mainnya. Ah, di situ aku berada di posisi sebagai mahasiswa yang pura-pura tuli ketika ditanya kapan lulus? aku bahkan tetap memberikan senyumku yang memikat pada siapa pun yang seringkali merecoki moodku berkali-kali. Lalu sampailah pada pertanyaan dosen pembimbing bertanya" Eva kapan berencana lulus?" lalu kujawab "saya masih ambil mata kuliah pak beberapa SKS karena kemarin saya jaga gawang di lokasi KKN takut ada sidak dadakan saat teman yang lain KRS an dan tutup teori. Saya juga mengulang mata kuliah yang bapak ajarkan di tahun kemarin karena saya ingin menyelesaikan riset saya semester depan dengan baik" Speechless. 

    Well, aku pun lulus nyaris 4 tahun. Walau saat itu aku kecewa tidak bisa ikut wisuda periode dua bulan sebelumnya. Ada satu titik temu yang kurenungkan di saat aku menyalahkan diriku sendiri yang terlalu malas untuk cepat menyelesaikan riset tugas akhir. Aku belum lulus karena aku belum siap lulus. Keyword yang ada di kepalaku. Kenapa begitu? mari simak baik-baik kegelisahanku di sini.

    Ada beberapa orang yang mengejar waktu demi lulus cepat tanpa lagi peduli apakah dia siap lulus atau tidak? kok pertanyaannya siap atau tidak? Sebab, di sinilah aku benar-benar merasa tidak menyesal karena lulus kuliah cukup lama dari teman yang lainnya. Kejar waktu, sebenarnya apa yng dikejar? Banyak banget orang-orang yang bingung mau apa dan bagaimana setelah lulus. Bukan sembarang asal dapat pekerjaan, comot.. oh no. Ketika kita berada di posisi sebagai pekerja maka kita akan mencurahkan waktu kita untuk pekerjaan itu. Jika tidak sesuai dengan passion kita, maka yang ada hanya lelah dan rasa jenuh yang semakin membuncah hari demi hari tanpa henti. Tapi jika kita beruntung berada di posisi yang tepat dari pekerjaan kita, maka pekerjaan pun akan menjadi hal yang menyenangkan. Di situlah kita harus benar-benar pandai memilih dengan tepat akan kau habiskan untuk pekerjaan macam apa waktu yang Tuhan berikan itu? 

     Ada juga yang lulus kuliah dengan cepat tapi tidak siap lulus, maka apa yang akan terjadi? Bingung. Sebab dari awal hanya mengejar waktu, tidak menikmati setiap proses belajar yang kita lakukan. Tapi aku juga tidak setuju dengan orang-orang yang memprioritaskan kuliah untuk kerja. Karena banyak kok titel sarjana pendidikan menjadi pebisnis, sarjana sastra tidak lantas jadi penyair. Lalu mereka menemukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan passion mereka, dan menurutku itu jauh lebih menguntungkan dan luar biasa daripada seorang sarjana hukum lantas dipaksa oleh keadaan untuk menjadi seorang hakim padahal dalam jiwanya tumbuh sebagai seorang pujangga. Hahahahha hidup itu selucu ini yah, kawan..... maka nikmatilah setiap prosesnya. Wahai kamu adek-adek mahasiswa tahun terakhir, belajarlah dengan nikmat, dan nikmati setiap prosesnya. Tidak perlu lirik sana sini, sebab ketika kamu telah keluar dari dunia kampus dan kamu tidak siap menghadapi dunia berikutnya, maka kamu hanya akan menyesal karena kamu tidak mempersiapkan diri dengan matang sedangkan kamu sudah tidak bisa lagi kembali ke masa yang lalu.  Semoga kita sama-sama menemukan "hidup" yang lebih bermakna dari sekadar ingin mengejar hal-hal yang fana. 

Eva Edelweis, Yogyakarta 2 Rajab 1439 H.




    Selamat malam minggu semua..... Ini tulisan pertamaku di tahun 2018. Inspirasi ini muncul saat aku lagi asyik-asyiknya menikmati hempasan angin di jalanan pas pulang dari The Crabbys Jogja. Daripada kelamaan mengendap lalu hilang, mending kutuliskan saja malam ini. 


    Aku hanya ingin sharing tentang gaya hidup. Ketika aku pulang kampung, hal yang seringkali ditanyakan oleh teman, tetangga, saudara selalu saja soal gaya hidup. Mereka bilang enak yah kuliah di luar kota, jauh dari pantauan orang tua, bisa ngemall, jalan-jalan, kulineran, pokoknya asyik dan menyenangkan. Beda banget kalau tinggal di desa, kuliah di lingkungan pesantren, ga bisa kemana-mana.. katanya. Well, apa yang mereka katakan kadang ada benarnya. Mereka juga seringkali bertanya berapa biaya hidup satu bulan di jogja? aku menyebutkan sekian ribu. Mereka kaget, bisa gitu duit segitu hidup di sana? "itu kan kayak duit bulananku di pesantren, Va" kata mereka. Seketika aku tertawa sambil mengingat beberapa hal yang terjadi selama hidup di tanah jogja. 

    Aku bersyukur banget orang tuaku berbesar hati mau ngelepasin anak gadisnya untuk lanjut studi ke luar kota bahkan luar provinsi. Sebab itu, aku kadang malu untuk bilang pada bapak bahwa uang jajanku kurang untuk memenuhi beberapa kebutuhan kuliah. Aku malu untuk minta lebih dari apa yang mereka kasih. Sekali pun mereka sering bertanya cukupkah yang mereka berikan ? Eva selalu bilang cukup. Sugesti semacam itu berpengaruh pada pikiranku termasuk gaya hidup yang aku jalani. Tidak peduli kita punya uang yang banyak atau sedikit, tapi pastikan apa yang kamu punya itu cukup untuk kamu. Cukup di sini bisa jadi sebagai keberkahan rejeki dari Tuhan. Beberapa temanku sering mengeluh uang yang dikasih orang tuanya seringkali ga cukup, padahal jatahnya memang untuk satu bulan. Setelah kutanya berapa dia habiskan banyaknya biaya untuk satu bulan? masya allah, jelas itu melebihi jatah bulanan eva bahkan berkali lipatnya. Kamu tau apa yang membedakan dari kami? Tentu saja soal gaya hidup. Bukan karena duit banyak atau sedikit, tapi bagaimana kita memanfaatkannya agar cukup untuk kita. 

    Aku tidak akan bilang bahwa pamer itu ga boleh. Sebab, itu hak masing-masing orang. Hanya saja miris sih, kalau ada yang "sok" di depan mata, pamer sana sini, biar sama kek teman yang lainnya. Hitsssss dengan segala apa yang apik diliat mata. Meski kenyataannya tak senyaman yang ia pamerkan.

   Jogja terkenal dengan angkringannya, nasi kucing harga murah akan kau temukan di pinggiran jalanan Jogja. Bahkan, ada tempat makan dengan desain yang instagrammable tapi yang ia jual hanyalah nasi kucing dengan beberapa varian menu. Yeah, bagi sebagian orang makan nasi kucing itu kampungan, nggak banget deh pokoknya. Buktinya, pernah suatu kali temanku bilang kalau dia alergi nasi kucing. Hah? alergi? katanya kalau makan nasi kucing dia muntahin lagi. Sumpah, ini lebay banget. Dia ceritanya sama aku lagi, yang memang suka nangkring di angkringan. Tapi bukan berarti aku alergi makan nasi padang loh yah hahahha.  Apa dia ga merasa berdosa gitu, bilang kek gitu ke aku? untung ga baperan. hahahhaha....  Makanan enak itu hanya sampai di ujung lidah saja. Lepas dia meluncur ke tenggorokan menuju lambung sampai usus, yah dicerna langsung tanpa melalui sebuah ujian kelulusan, semisal nanya "eh nasi, kamu seberapa harganya? kalau cuma dua ribu keluar sana. Ga mau dicerna oleh usus." mana dia bisa membedakan itu nasi putih seharga dua ribuan sama lima ribuan? Aku ngeshare soal nasi kucing, bukan berarti aku ga menikmati beberapa kuliner di jogja yang hits loh yah.. meski pun jarang banget memposting foto makanan di media sosial.... Karena begitu masuk tempat makan, di pikiranku hanya ingin makan dengan nyaman bukan pamer. Hanya saja itulah sedikit cerita soal gaya hidup yang sulit aku jabarkan. 

    Aku hanya mau bilang, kita bisa survive hidup dengan biaya yang sedikit atau banyak tergantung gaya hidup kita. Soal hidup, itu sederhana. Gaya hidup, itulah yang mahal. Bergayalah sesuai dengan kemampuan finansialmu. Ga usah memaksakan diri dengan melampaui batas kemampuanmu sendiri. Yakin, kamu akan hidup nyaman dan perasaan tenteram sebab menjalaninya dengan apa adanya tanpa ada tekanan dalam diri sendiri ingin "terlihat" di depan orang lain. Oke, itu saja dulu yang ingin aku sharing dengan kalian. Tulisannya masih belum fokus dengan temanya, berantakan..... but, semoga bermanfaat. See you next posts, guys..... 

Eva Edelweis, Yogyakarta 14 Januari 2018. @Pondok Pesantren putri UII