Foto diambil dari hasil dokumentasi pribadi.
Sebuah kampus yang
membangkitkanku dari keputus asaan. Sebuah kampus yang memberiku
kesempatan satu kali lagi untuk mewujudkan beberapa mimpi yang sempat
nyaris kuhapus dari catatan harianku. Masih teringat sangat jelas dalam
pikiranku 5 tahun yang lalu saat aku nyaris saja menenggelamkan
mimpi-mimpi kecilku, lalu takdir itu datang tak terduga, sebagai jawaban
dari pinta di setiap sujud yang tak henti dilakukan oleh ibu dan
ayahku tentu saja juga berkat do'a terbaik dari masyayikh Annuqayah.
Iya, jawaban terbaik dari Tuhan. Karena waktu itu aku masih
berstatus sebagai santri (belum boyongan), sulit bagiku untuk izin dalam waktu yang agak lama hanya untuk mengikuti tes mandiri di beberapa kampus, kebetulan saat itu semua
kampus
barangkali sudah menutup pintu mereka
masing-masing untuk kudatangi sebagai mahasiswa baru. Lalu, harapan itu
muncul berasal dari kakak kelas yang memberiku selembar pamflet program
mahasiswa unggulan pondok pesantren UII. Kabar bahwa pintu UII masih
terbuka lebar untukku, tidak kusia-siakan begitu saja. Bismillah Tuhan
akan selalu memberikan yang terbaik. Meski pun aku bukan siswa dan
santri yang berprestasi, bahkan boleh dikatakan aku hanya sekadar siswa
yang biasa-biasa saja. Namun, apa boleh buat? Aku hanya berpositif
thinking bahwa Tuhan akan memberikan jawaban-jawaban terbaik dari doaku.
Yah, jawaban itu berupa kabar bahwa UII masih menyambut kedatangan
siapa pun yang hendak mewujudkan
inginnya untuk belajar dengan senang. Yah tentu saja belajar dengan
senang. Untuk apa kalau tidak senang? Pertanyaan itu sempat saya katakan
pada salah satu keluarga yang mengatakan "kamu itu perempuan, tak
usahlah macam-macam ambil jurusan kuliah. Kuliah saja seperti santriwati
pada umumnya dengan jurusan yang ada hawa-hawa agamanya". Tapi aku
tetap nekat untuk tidak mau menjadi santriwati seperti pada umumnya itu,
peduli amat sama omongan orang. Toh aku yang jalani, orang tua juga
yang suport segalanya. Terpilihlah prodi Kimia yang menjadi pilihanku,
bukan berarti aku tidak senang dan tidak suka belajar agama namun aku
punya kesukaan lain belajar sains dan juga ingin pengalaman yang baru
belajar dan mendalami sains yang katanya non agama, kata orang-orang
yang masih saja mendikotomikan ilmu. Padahal, secara logika orang-orang
sains lebih cenderung mudah takjub dan percaya tentang
keajaiban-keajaiban di balik ciptaan Tuhan yang luar biasa. Jadi
menurutku, meskipun belajar ilmu "non agama" justru di sinilah keimanan
kita sebagai muslim semakin mantap karena ada data dan fakta ilmiah
bukan hanya sekadar sebuah doktrin bahwa Tuhan itu sungguh Maha luar
biasa.
Alhamdulillah, di sini aku bertemu dengan dosen-dosen yang keren di
bidangnya, keren pengetahuan agamanya, keren akhlaknya pula. Beberapa
dari dosen menerapkan sebuah kebiasaan tadarrus al-Quran sebelum proses
perkuliahan dimulai, tempat duduk antara perempuan dan lelaki dipisah,
khusus untuk perempuan wajib memakai rok yang sopan.... Budaya semacam
ini aku temukan di kampusku tercinta. Mungkin bagimu ini biasa, tapi
ketahuilah bahwa kampus UII bukan sekadar kampus untuk muslim saja tapi
untuk semua orang, yah kampus yang rohmatan Lil 'Alamiin. Aku kuliah di
jurusan kimia, tapi yang kudapatkan tidak hanya soal kimia saja, bahkan
belajar juga ilmu-ilmu bidang sosial yang kuperoleh dari pesantren UII.
Yeah, UII memberikanku semua itu. Maka adakah sebuah alasan untuk tidak
bersyukur saat Allah menetapkanku untuk mengenyam pendidikan di kampus
tertua ini?
Alhamdulillahnya juga, selain diterima sebagai mahasiswa kimia angkatan
2012, aku juga diterima sebagai mahasantri di pondok pesantren UII yang
artinya sekali lagi UII memberiku kesempatan belajar dengan lebih baik
tanpa harus memikirkan bagaimana aku lagi-lagi akan merepotkan orang tua
tentang biaya pendidikan. Namun satu hal yang aku pikirkan, aku punya
tanggung jawab besar untuk mengkontribusikan diriku di sini sebagai
wujud pengabdianku pada UII. Tanggung jawab yang sangat besar, bukan
hanya pada saat aku menjadi mahasiswa saja. Ketika aku tidak lagi
berstatus sebagai mahasiswa tanggung jawab untuk mengabdi tetap akan
tersandang di pundakku secara otomatis hingga ajal menjemput. Yah, aku
membawa nama UII kemana pun aku berpijak. Jika kau menemukanku khilaf
sebagai manusia, jangan sekali-kali menyalahkan pesantrenku, kampusku
yang salah memberikanku pendidikan tapi salahkan aku secara pribadi
karena kesalahanku.
Tulisan ini kutulis sebagai sebuah catatan manis bersama UII dan ucapan
terimakasih tak terhingga untuk seluruh civitas akademika. Terakhir, selamat ulang tahun UII. Semoga tetap jaya dan selalu diridlai Allah.
@Lantai 4 Asrama pondok pesantren UII putri
Tasyrifatur Rahmah, Yogyakarta 8 Juli 2017.
0 komentar:
Posting Komentar