Aku memanggilnya  lek Imut. Yah, imut sekali memang dan menggemaskan. Hahahaha.. katanya dia sudah bertambah usia, bahkan aslinya usianya melampaui usiaku tapi tetap saja aku menyebutnya "Lek" yang artinya adik. Selain karena memang posturnya yang imut, dia memang imut seperti anak-anak balita dan kalau gemes, rasanya pingin nyubit-nyubit  dia  sampe puas (huaaa maapkan saya lek..). tapi kecil-kecil kamu gesit.. hahahah.. Cukup sudah aku bicara ga jelas di sini, yang ingin kutulis bukan tentang itu semua...

    Pertama, kuucapkan selamat panjang umur, semoga bertambahnya usia bertambah pula keberkahan hidupmu, bertambah dewasa, dan tambah imut tentunya... Lancar risetnya yah :) selebihnya, aku cukup mengaminkan segala pinta baikmu... 

    Gara-gara mengingat omonganmu semalam, tiba-tiba aku terbersit untuk ngeblog malam-malam tanpa harus ada acara mewek ga jelas.. Sungguh malu, malu pake banget, karena pernah suatu hari saat tanpa sadar menangis di depan customer ganteng yang mau masukin sample dan kau tahu apa yang kurasakan? rasanya mau menghilang kayak raib di novelnya bang Tere.... 

    Kadang kita ingin menangis sejadi-jadinya tanpa pernah tahu sebenarnya apa alasan kita ingin menangis. Syukur-syukur ga ngamuk ke orang lain.. tapi sadarilah bahwa air mata yang mengalir dari seorang wanita bukan air mata yang sembarangan membanjiri pipi kita lek, tapi itu karena hati yang menggerakkan pikiran kita untuk menangis. Kau tahu kenapa? karena mungkin hati kita terlalu lama menyimpan dan memendam sesuatu yang tidak seharusnya kita simpan di sana. Sesuatu yang mengganjal berupa sakit yang telah lama mengeras membuat hati kita berontak diam-diam untuk meluapkannya. Kita harus menangis, meski terlihat cengeng tapi tidak lantas membuat kita terlihat lemah hanya karena soal menangis tanpa alasan. Kita harus menangis untuk menyadarkan diri sendiri bahwa kita memang hanya sejenis manusia biasa yang memiliki batas-batas tertentu untuk selalu merasa baik-baik saja. Jika kita memang tidak baik, katakanlah tidak baik jangan selalu disimpan terlalu lama biar hati kita ga karatan jadi manusia tapi tidak berhati manusia. Karena ketika kita mampu jujur dengan diri sendiri, di situlah hati dan pikiran bisa diajak berkompromi untuk tidak panik dan bisa mengontrol emosi dengan baik...

    Semalam aku pun merasakan hal yang sama, ingin menangis sambil teriak-teriak macam orang gila biar puas sekalian... tapi yang terjadi justru hanya menangis sesenggukan di pojokan kamar. Bahkan meski ada yang bertanya kenapa menangis, mungkin hanya tersenyum kecil dan mengatakan "aku rapopo" padahal dalam hati rasanya sudah mau meledak hasrat ingin cerita, curhat dan berbagi pada orang lain. Namun, harus disadari hal-hal seperti itu tidak seharusnya ku bagi-bagi, tidak penting orang lain tahu keadaan hati kita yang sedang kacau. Kita hanya harus memastikan bahwa sekacau apa pun, diri kita tetap berdiri tegak di tempat dan tak mudah rapuh hanya karena sedikit masalah. Namanya juga hidup, pasti penuh masalah... iya kan? kalau tidak ingin dapat masalah, silahkan pindah rumah menuju alam barzah kata guruku... Perlu diingat, selama bumi masih bulat dan tetap berotasi pada porosnya maka begitulah hidup kita akan terjadi, ketika ada sedih maka akan dengan cepat berganti gembira. Ketika ada luka maka akan segera berganti bahagia. Seperti halnya hari ini, saat tulisan ga jelas ini ditulis rasanya kok aku seneng, hati berbunga-bunga padahal tidak pernah tau apa yang sebenarnya bikin senang. Barangkali kamu perlu seperti ini, sedih seperlunya dan bahagialah dengan sederhana....

    Tanpa sadar, aku telah menulis hal-hal yang mungkin kurang penting namun dengan sengaja kamu baca sampai selesai. hahahaha... Tulisan paling sederhana dedikasi untuk lek imut, gadis terkocak yang pernah aku kenal, yang sudah berusia 22 tahun katanya... peluk jauh untukmu, kalau kau ingin kado mainlah ke jogja =D Semoga kamu selalu bahagia.

Eva Edelweis, Yogyakarta 28 April 2017.



i know i'm not alone....
Kamu pernah merasa hari-harimu benar-benar kosong? yah, aku mengalaminya hari ini. Beberapa hari ini aku hanya duduk anggun di depan komputer yang artinya hari itu benar-benar tidak produktif dan pikiranku kacau. Menangis tanpa alasan sambil menulis tulisan ini membuatku ingin mentertawakan diri sendiri, bagaimana mungkin aku merasa kalah padahal aku tidak sedang ikut lomba dan semacamnya. Aku masih di sini dengan setumpuk kekosongan dalam pikiranku yang mungkin semakin memperparah kebuntuan otakku.
Aku boleh menangis hari ini? dan aku hanya ingin menangis meskipun tanpa alasan.... aku sungguh tidak tau untuk apa menangis, mungkin benar air mata ini mengalir karena perintah hati untuk mengingatkanku bahwa ternyata aku sejenis manusia biasa yang mana hatiku mulai memberontak sedari kemarin ingin menendang-nendang segala sesuatu yang ada di depan mata. Aku tidak tau aku sedang menangisi apa, namun kenapa aku merasa perasaan ini serasa dikuliti, dicabut rasa malunya... dan begitu sakit dan sesak rasanya.

Apa ini saatnya aku harus mengakui bahwa pura-pura bahagia dan selalu gembira itu sungguh menguras energi? walau dalam keseharianku, diriku tampak sebagai orang yang paling blak-blakan dalam bicara seolah rem di mulut ini sudah los dan tak berfungsi namun tetap saja segala kesedihan ini tidak bisa aku bicarakan dan hanya bisa kutumpahkan di sini. Baru kali ini aku juga merasa betapa menyedihkannya, dan menyiksanya memendam rasa benci, dendam yang tak seharusnya menghuni hatiku Tuhan....Ajaibnya setelah aku nulis ngalor ngidul di sini, rasanya petir beserta hujan di hati ini lebih sedikit mau bersahabat...

Aku hanya selalu berusaha memastikan aku baik-baik saja dan selalu bahagia meski mungkin bagi orang yang melihatnya inilah pencitraan paling nyata. Yah, kau tidak usah nyinyir dengan pengakuanku kali ini karena sesungguhnya pencitraan itu adalah sifat alamiah manusia. Bukankah setiap orang selalu berusaha menutupi aib sendiri dan menampakkan kebaikan dirinya? Sadar atau tidak, pencitraan semacam itu mesti dilakukan oleh kebanyakan orang. Sah-sah saja sih menurutku tidak ada yang salah dengan sebuah pencitraan. Apalagi sekarang ini di media sosial, waaah hampir rata-rata semua penggunanya mencitrakan dirinya baik dan terbaik. Yah, di situlah hal yang penting menurut aku, dimana kamu bisa mencitrakan dirimu sebaik mungkin dengan harapan memang sebaik itulah dirimu yang sesungguhnya. 
Sekian dulu yak, catatanku hari ini. Semoga kamu bahagia ^_^  

 Selamat malam para tamu blog pribadiku... semoga kamu selalu bahagia seperti aku ^_^
    Ide tulisan ini sebenarnya sudah terlalu lama menghuni pikiranku namun sekali lagi rasa malas itu menggelayut tanpa ampun, padahal hampir setiap hari aku berada di depan layar komputer. Lalu inspirasi ini muncul kembali mendesak untuk segera dituliskan sebelum semuanya kadaluarsa, seperti cintaku untuknya hahahahah... 
    Pertama kali kamu membaca judul di atas, apa yang kamu pikirkan? seseorang yang berkepala botak? seseorang yang berotak sejenius einsten? atau seseorang yang ahli dalam segala hal? oh tidaaaaak... aku tidak akan membicarakan itu semua. hahahhaa. Profesor menurut KBBI adalah seseorang yang memiliki pangkat dosen  tertinggi di perguruan tinggi. Namun aku menyebut (nya) profesor karena ternyata dia sudah cukup berbakat lah di bidangnya, kalau aku mah apa atuh bang cuma butiran debu kalau dibandingin dengan dia. hiks hiks.
    Sebut saja namanya Dias. Kupikir aku benar-benar mengenali sosok seorang Dias, namun ternyata aku salah besar dan itu sangat memalukan saat aku mulai sok tahu tentang orang lain. Dias bilang dia sedang mengalami beberapa persoalan dimana dia sebenarnya menurutku lebih butuh teman curhat daripada solusiku yang terlihat sangat menyebalkan. Dias ini salah satu teman yang sama-sama memiliki hobby menulis diary. Oh yah, tentu saja bukan cuma cewek dong yang suka ngediary cowok pun juga ternyata hobby curhat lewat diary. Saat dia bercerita tentang beberapa hal aku mengatakan sesuatu  "yas, cobalah kau menulis di media yang berbayar jangan hanya nulis diary kayak aku" ucapku waktu itu. "Yah Va, akan kucoba, makasih sarannya" dan komunikasi kami selesai sampai di situ. Lalu suatu hari aku menemukan suatu tulisan jenis kolom di sebuah koran elektronik yang cukup menarik untuk kutuntaskan jadi sarapan pagi. Seketika rasanya mataku berhenti berkedip untuk beberapa saat, tidak hanya itu saja bahkan aku membaca tulisan itu berulang-ulang sampai aku benar-benar hapal isi dari tulisan itu. Nama penulisnya adalah Dias Al-Faraby anak Solo. Aku mengucek mata berkali-kali untuk memastikan bahwa nama itu hanyalah milik sahabatku yang satu itu bukan orang lain. Oh yah, foto yang ditampilkan memang foto dia. Berarti benar kalau itu memang tulisan Dias sahabatku. Kukunjungi mbah yang paling pinter mbah google untuk search namanya lagi, kutemukan beberapa jenis tulisan yang sama dengan judul yang berbeda atas nama penulis yang sama. Sahabatku penulis media massa bukan hanya penulis diary macam aku. Rasanya aku malu sekali waktu itu sok ngasih solusi, dan itu murni aku hanya ingin menyemangatinya saja. Bagaimana mungkin anak petakilan macam aku yang hanya hobby ngediary, ngeblog sok sok an menasihati seorang penulis untuk menulis. Hahahahaha. Parah banget kan yah? makanya sekali lagi, kalau ada orang yang curhat padaku aku nggak berani ngasih solusi apalagi sok bijak bilang ini itu takut kejadian yang sama terjadi lagi. Sungguh memalukan. Namun mungkin sahabatku itu masih jaga muru'ahku sebagai temannya maka diapun mengiyakan apa yang kukatakan. Terimakasih bro... oh nggak terimakasih prof. Yah, karena ternyata kamu pantas untuk kusebut kau sebagai profesor (dalam hal kepenulisan). Maaf dengan lancang sekali aku berlaku sok tahu tentang apa yang orang lain butuhkan, inginkan padahal aku yakin waktu itu kamu hanya perlu telinga untuk mendengarkan segala keluhmu, butuh mulut untuk mendoakan kelancaran usahamu tidak untuk diberi solusi yang kupikir solusinya menyebalkan sekali untukmu. -_- 
    Terakhir, aku berpesan untuk kamu yang membaca tulisan ini, janganlah kamu selalu merasa tahu tentang segala sesuatu, merasa memahami orang lain sepenuhnya apalagi merasa dirimu lebih baik dari orang lain. Cukuplah menjadi pribadi yang rendah hati, dan selalu merasa tidak tahu apa-apa agar kamu mau belajar dari orang lain. Kelihatan tidak tau apa-apa sungguh lebih baik dibandingkan kamu tidak tahu sesuatu namun sok tahu. Udah itu saja yang ingin kutulis di sini, sebagai tulisan tanda liburan telah berakhir.. huuuu huuuuu :'(

Eva Edelweis, Yogyakarta 24 April 2017
Salam Kartini untuk semua wanita ^_^
    Inspirasiku kali ini berasal dari seorang gadis kecil yang baru semalam aku kenal. "Namaku Mia" begitulah suara yang kudengar dari seberang saat kutanya namanya. Kami berkenalan hanya melalui via telpon, dan itu pun hanya beberapa menit saja kami ngobrol karena jaringan telkomsel yang sedang tidak bersahabat dengan kami. Semalam, badanku meriang dan masih bersembunyi dalam selimut lalu Mia menawarkan diri untuk mendongengiku sebelum aku tidur. Cara bercerita yang ekspresif, serius, menampakkan bahwa gadis kecil itu bukan gadis desa biasa tapi cukup cerdas untuk anak seumuran dia. Pertanyaan pertama saat dia memulai obrolan cukup membuatku speechless dan baper malam-malam. Bagaimana tidak, anak itu dengan entengnya nanya "kak, udah punya pacar belum? udah nikah belum ?" spontan saja aku menggeleng, dan mengatakan nggak. "bohong" katanya. Lalu akhirnya kami tertawa... Jujur saja aku kaget dengan pertanyaannya. Bagaimana anak seusia adekku itu sudah mempertanyakan tentang hal yang cukup serius semacam pernikahan?
                                          Mia, gadis berkacamata bersama teman-temannya 

    Anak ini sungguh penuh kejutan, belum selesai aku tertawa dengan omongannya, tiba-tiba dia nanya "kak, mondok itu enak ga?" "ada enaknya kadang juga nggak, sayang... " Lantas, dia memintaku bershalawat untuknya. Ah sampai di situ saja aku dibuatnya malu, karena aku yang dulu suka shalawatan pun harus mengakui kalau shalawatan macam di  album anak Langitan, aku sudah banyak lupa teks shalawatnya hingga akhirnya dia shalawat dengan dua jenis shalawat yang berbeda. Salah satu judul shalawatnya "Habibi yaa Muhammad" saat kutanya siapa yang mengajarinya? dengan lantang dia menyebutkan salah satu nama seseorang yang kukenal begitu akrab yang kini sedang mengabdi menjadi pengajar muda di Muara Enim.
    Jawaban demi jawaban dari pertanyaanku terjawab setelah aku ngobrol sebentar dengan temanku (sang tuan guru). Pantas saja dia menanyakan apakah aku menikah atau masih lajang, karena ternyata di kampungnya gadis-gadis seusia anak SMP biasanya nikah dini. Sebenarnya ini bukan hal baru bagiku, karena di tulisanku yang sebelumnya pernah kutuliskan tentang pernikahan dini di kampungku. Hal yang bikin kaget hanyalah karena pertanyaan itu muncul dari seorang anak kecil berusia 8 tahun an. Tidak hanya itu saja, anak itu terobsesi dengan anak pondok. Mungkin dia mulai kagum dengan tuan guru yang sebenarnya anak pondok yang multi talent mengajarinya banyak hal, termasuk mengajarinya banyak jenis shalawat. Tapi sayangnya gadis itu mungkin kecewa saat aku bilang, aku lupa dengan teks shalawat yang dia minta bacain :(
    Barangkali sedikit cerita di atas, tidak terlalu penting untuk kau baca. Namun, entah terlalu lebay atau gimana aku masih belum move on jatuh hati dengannya, yang katanya bercita-cita ingin jadi seorang detektif. Semoga cita-citamu tercapai sayang... boleh kamu tinggal di desa terpencil, namun tetaplah berjuang meraih segala impian. Tidak ada bedanya antara anak desa dan anak kota dalam hal bermimpi dan belajar. Senanglah dalam belajar, karena jika kau senang belajar maka kau akan dengan mudah mendapat banyak beasiswa untuk belajar sepuasmu sambil lalu kau akan mulai mengerti tentang realitas hidup yang terkadang bikin kita mual dengan segala permasalahannya.  Belajarlah dengan senang, tekun, dan jadilah Kartini untuk orang-orang sekitarmu lalu kau wujudkan cita-citamu. Tadi pagi, hujan membasahi seluruh sudut kota Jogja. Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana doaku dari sini disambut Tuhan untuk membersamai seluruh mimpimu. Hari ini katanya kamu sedang ikut sekolah petualang di Jakarta, dan mungkin ini kali pertama menatap dengan pandangan paling jujur tentang suasana ibu kota. Bersenang-senanglah di sana, semoga pengalaman di sana membuatmu candu untuk terus belajar dan mencari lebih banyak lagi pengalaman... Terimakasih telah menyapaku sayang, sejenak aku menatap masa-masa yang telah kulewati tanpa adanya sebuah perubahan, hanya diam di tempat saja dan hari ini sapaanmu membuatku tersadar untuk terbangun dari tidur panjangku. Membuatku menyadari bahwa aku juga sama sepertimu punya banyak mimpi yang sempat terhenti dan ingin segera kuwujudkan. Oh yah, tuan guru bilang kamu excited dengan perempuan yang bisa sekolah tinggi..... semoga suatu hari kamu bisa melangkahkan kakimu kesini, ke kota budaya, kota pelajar dan kau juga menjadi salah satu dari mereka yang diberikan kesempatan belajar gratis di sini ^_^
    Terakhir, untuk tuan guru terimakasih telah mengenalkanku padanya. Aku senang sekali saat kau memberiku kesempatan untuk bercakap meski hanya sebentar saja... semoga besok, kami punya kesempatan lagi untuk berbagi cerita yang lebih seru dari sekedar dongeng anak-anak yang dimarahi ibunya.... Salam cinta dari tanah Jogja untuk kalian, tuan guru beserta siswa-siswa hebatnya. 


Eva Edelweis,  Yogyakarta 21 April 2017