Tumbuhlah!

Bertahun-tahun sejenak aku rehat dari kegiatan journalingku. Aku mulai berkontemplasi dengan hidup yang kujalani sekarang. Kadang pingin nangis seketika, tapi kadang selucu itu hidupku untuk sejenak tertawa. 

Banyak mimpi terajut talam angan, tapi tak terealisasikan meski aku banyak berharap, banyak meminta bahkan seperti memaksa Tuhan mewujudkannya. Kadang aku lupa, bahwa tak semua yang kuinginkan harus selalu tercapai. Aku lupa bahwa Tuhanlah Yang jauh lebih tahu apa yang kubutuhkan. 

Orang bilang rumput tetangga sering terlihat lebih hijau dari kebun kita sendiri. Tapi tidak, ini bukan persoalan sesederhana itu. Aku merasa kayak sedang dipermainkan kehidupan. Aku bercita-cita begini, merencanakan yang begitu, tapi entah kenapa aku merasa kok mimpiku jatuh ke orang lain? Kok apa yang kuinginkan seperti dikasih ke orang lain? Kayak merasa, ah hidup ini ga adil Tuhan. Aku capek dibikin rumit, letih berpikir lebih keras lagi. Aku seperti manusia yang hilang harapan. Takut berusaha lagi sebab kegagalan seringkali menghampiri. Apa usahaku belum cukup? Kenapa hanya jadi penonton orang lain yang menerima segala wujud mimpi yang terangkai cantik di benakku? Ah, Beginikah beratnya ikhlas? 

Aku takut bermimpi lebih tinggi lagi. Takut kecewa lebih dalam, lebih sakit. Seseorang yang kusebut suami selalu mendekap kegelisahanku. Menguatkanku seolah hidup akan baik-baik saja hanya dengan membaca banyak tulisan motivasi. Tapi aku sadar bahwa perasaan semacam ini valid aku rasakan. Aku juga sadar bahwa tidak bisa aku biarkan rasa tidak nyaman ini terus menerus menghuni pikiranku, mengganggu setiap aktivitasku. Bahkan aku sangat sadar untuk segera pulih dan melanjutkan hidup yang pernah seberantakan ini. 

Waktu memang mengajariku banyak hal. Termasuk soal keikhlasan. Diam-diam aku mulai berdamai dengan jalan hidup yang amat kritis ini. Aku terima dengan lapang segala sesuatu yang terjadi sesuai ketentuan Tuhan. Aku tak lagi memaksa hidup harus begini harus begitu. Aku sungguh ikhlas dan pasrah diri pada segala takdir Tuhan yang digariskan padaku. Mungkin memang harus begini jalannya. Rumit, berkelok, berkerikil, berlobang, ah tapi rasanya lebih nikmat saat aku mulai sadar bahwa manusia memang hanya diberikan kesempatan berusaha semampunya, tapi hasil akhir tetap Tuhan yang putuskan dengan mutlak. Aku percaya, dibalik masa sulit ini ada banyak hal baik yang Tuhan persiapkan untukku. 

Keikhlasan memang mudah diucapkan, tapi tidak bisa kukatakan mudah secara prakteknya. But I proud of my self, akhirnya aku bisa mengatasi perasaanku sendiri perlahan tapi pasti. Semakin lama waktu bukan hanya mengajariku tentang keikhlasan namun juga pendewasaan diri. Secara spiritual, aku merasa makin disayang Tuhan. Makin dekat denganNya, dengan hal-hal baik yang tak semua orang merasakannya seperti yang aku rasakan. Barangkali bagi sebagian orang terasa lebai tapi jujur aku merasakannya begitu. 

Secara personal, aku kini tak lagi merasakan insecure berlebih melihat pencapaian orang lain, iri dengan kebahagiaan orang, bahkan lebih dari itu. Aku mulai bisa mencintai diri sendiri dengan sepenuh hati. Meski prosesnya terseok-seok. Yah kuakui dulu seringkali memaki diri sendiri sebagai orang yang bodoh, begok, ga tau apa-apa pokoknya merasa jadi manusiayang amat buruk. Sekarang, aku bisa terima kekuranganku, ketidaksempurnaanku bahkan jadi motivasi tersendiri untuk terus memperbaiki diri.

Aku jalani segala ketentuan Tuhan yang ditetapkan padaku meski hal buruk sekalipun, tanpa lagi protes atau menyanggah keputusan Tuhan terhadap hidupku. Mensyukuri banyak hal yang Tuhan karuniakan, merawat segala hal baik yang Dia kasihkan, agar semakin tumbuh subur tunas- tunas kebaikan lain setelahnya. 

Orang lain bertumbuh dimulai dari menjalani struggle nya masing-masing, begitu pun aku. Mudah-mudahan ikut mekar pada saat tepat.


                               Sumenep, 3 November 2022


 


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar