Bulan Mei menuju akhir semester genap tahun ini. Bulan mendatang katanya ujian akhir tahun tapi kenapa aku yang berasa stress? Aku yang berasa punya tekanan sebentar lagi ujian segera tiba. 

Ingatanku kembali ke masa lalu. Masa dimana aku yang dulu cinta sekali belajar. Effort luar biasa jelang semesteran udah pasti tanya sana-sini melengkapi catatan dan mengcopy beberapa lembar soal-soal terdahulu. Shalat sunnah, puasa Sunnah mulai dikencengkan sebagai bentuk tirakat diri sendiri. Bolak-balik perpustakaan meminjam buku untuk kemudian semakin siap menghafapk ujian.  Berbanding terbalik dengan generasi saat ini. Kayaknya sekolah hanya formalitas pernah sekolah aja bukan belajar dengan tekun. Generasi kurang daya juang. Miris banget dengan anak didik saat ini. 

Aku pikir hidup di jamanku lebih sangat beruntung daripada jaman anak sekarang. Berbagai keterbatasan bukanlah sebuah alasan yg terlalu penting untuk kemajuan diri. Justru dari keterbatasan timbul keinginan kuat, ikhtiar paling maksimal untuk mencapai tujuan akhir. Jaman sekarang kemudahan itu sungguh nyata. Dunia sudah berada dalam genggaman manusia. Kita butuh informasi apa, tinggal klik Google. Segala hal bisa ditanyakan di sana. Mencari duit pun bisa dengan mudah didapatkan melalui gadget. Sungguh kemudahan yang sangat nyata. Pintar-pintarnya manusia memanfaatkan kemudahan ini dengan baik atau tidak. Jika tidak, justru dari gadget hidup seseorang bisa hancur seketika. Namun kemudahan kadang terlalu melenakan. Padahal seandainya dimanfaatkan sebaik mungkin, inilah generasi emas 2045 yang sesungguhnya. 

Bertahun-tahun sejenak aku rehat dari kegiatan journalingku. Aku mulai berkontemplasi dengan hidup yang kujalani sekarang. Kadang pingin nangis seketika, tapi kadang selucu itu hidupku untuk sejenak tertawa. 

Banyak mimpi terajut talam angan, tapi tak terealisasikan meski aku banyak berharap, banyak meminta bahkan seperti memaksa Tuhan mewujudkannya. Kadang aku lupa, bahwa tak semua yang kuinginkan harus selalu tercapai. Aku lupa bahwa Tuhanlah Yang jauh lebih tahu apa yang kubutuhkan. 

Orang bilang rumput tetangga sering terlihat lebih hijau dari kebun kita sendiri. Tapi tidak, ini bukan persoalan sesederhana itu. Aku merasa kayak sedang dipermainkan kehidupan. Aku bercita-cita begini, merencanakan yang begitu, tapi entah kenapa aku merasa kok mimpiku jatuh ke orang lain? Kok apa yang kuinginkan seperti dikasih ke orang lain? Kayak merasa, ah hidup ini ga adil Tuhan. Aku capek dibikin rumit, letih berpikir lebih keras lagi. Aku seperti manusia yang hilang harapan. Takut berusaha lagi sebab kegagalan seringkali menghampiri. Apa usahaku belum cukup? Kenapa hanya jadi penonton orang lain yang menerima segala wujud mimpi yang terangkai cantik di benakku? Ah, Beginikah beratnya ikhlas? 

Aku takut bermimpi lebih tinggi lagi. Takut kecewa lebih dalam, lebih sakit. Seseorang yang kusebut suami selalu mendekap kegelisahanku. Menguatkanku seolah hidup akan baik-baik saja hanya dengan membaca banyak tulisan motivasi. Tapi aku sadar bahwa perasaan semacam ini valid aku rasakan. Aku juga sadar bahwa tidak bisa aku biarkan rasa tidak nyaman ini terus menerus menghuni pikiranku, mengganggu setiap aktivitasku. Bahkan aku sangat sadar untuk segera pulih dan melanjutkan hidup yang pernah seberantakan ini. 

Waktu memang mengajariku banyak hal. Termasuk soal keikhlasan. Diam-diam aku mulai berdamai dengan jalan hidup yang amat kritis ini. Aku terima dengan lapang segala sesuatu yang terjadi sesuai ketentuan Tuhan. Aku tak lagi memaksa hidup harus begini harus begitu. Aku sungguh ikhlas dan pasrah diri pada segala takdir Tuhan yang digariskan padaku. Mungkin memang harus begini jalannya. Rumit, berkelok, berkerikil, berlobang, ah tapi rasanya lebih nikmat saat aku mulai sadar bahwa manusia memang hanya diberikan kesempatan berusaha semampunya, tapi hasil akhir tetap Tuhan yang putuskan dengan mutlak. Aku percaya, dibalik masa sulit ini ada banyak hal baik yang Tuhan persiapkan untukku. 

Keikhlasan memang mudah diucapkan, tapi tidak bisa kukatakan mudah secara prakteknya. But I proud of my self, akhirnya aku bisa mengatasi perasaanku sendiri perlahan tapi pasti. Semakin lama waktu bukan hanya mengajariku tentang keikhlasan namun juga pendewasaan diri. Secara spiritual, aku merasa makin disayang Tuhan. Makin dekat denganNya, dengan hal-hal baik yang tak semua orang merasakannya seperti yang aku rasakan. Barangkali bagi sebagian orang terasa lebai tapi jujur aku merasakannya begitu. 

Secara personal, aku kini tak lagi merasakan insecure berlebih melihat pencapaian orang lain, iri dengan kebahagiaan orang, bahkan lebih dari itu. Aku mulai bisa mencintai diri sendiri dengan sepenuh hati. Meski prosesnya terseok-seok. Yah kuakui dulu seringkali memaki diri sendiri sebagai orang yang bodoh, begok, ga tau apa-apa pokoknya merasa jadi manusiayang amat buruk. Sekarang, aku bisa terima kekuranganku, ketidaksempurnaanku bahkan jadi motivasi tersendiri untuk terus memperbaiki diri.

Aku jalani segala ketentuan Tuhan yang ditetapkan padaku meski hal buruk sekalipun, tanpa lagi protes atau menyanggah keputusan Tuhan terhadap hidupku. Mensyukuri banyak hal yang Tuhan karuniakan, merawat segala hal baik yang Dia kasihkan, agar semakin tumbuh subur tunas- tunas kebaikan lain setelahnya. 

Orang lain bertumbuh dimulai dari menjalani struggle nya masing-masing, begitu pun aku. Mudah-mudahan ikut mekar pada saat tepat.


                               Sumenep, 3 November 2022


 


Previous PostPostingan Lama Beranda